Oleh : Budi Santoso, S.St.Pi
Rumpon merupakan salah perlengkapan dalam istilah perikanan tangkap
khususnya penangkapan ikan yang dalam kurun waktu yang belum lama dan banyak
digunakan oleh para nelayan baik skala kecil maupun besar. Pancing tegak dapat
ditemui di wilayah perairan dalam. Terutama di sekita rumpon laut
dalam. Daerah penangkapannya terletak pada alur ruaya ikan-ikan pelagis
besar.
Pengenalan Rumpon
Didalam Melakukan Metoda
penangkapan yang mendasari teknologi penangkapan ikan, terdapat empat faktor
utama yang harus anda pahami, yaitu:
1. Ikan apa yang hendak
ditangkap (Biologi Ikan),
2. dimana ikan akan
ditangkap (fish ground),
3. bagaimana sifatnya
(fish behaviour)
4. dan berapa jumlah yang
akan/boleh ditangkap (stock assessments dan kelestarian).
Dari keempat faktor di atas, fish
ground merupakan faktor penentu dalam menentukan keberhasilan penangkapan ikan,
tanpa mengetahui fish ground ikan yang menjadi tujuan daerah penangkapan adalah
pekerjaan menangkap ikan yang sia-sia.
Fishing ground di alam
merupakan suatu lingkungan kehidupan yang disukai ikan untuk berkumpul.
Berbagai faktor yang menyebabkan ikan mau berkumpul di lingkungan yang sesuai
untuknya, yang dapat dipelajari pada mata kuliah biologi perikanan.
Secara umum ikan akan berkumpul yaitu:
1. Pada saat makan,
2. saat hendak memijah,
3. dan saat bermigrasi
(tuna adalah ikan yang bersifat higly migratory).
Sebuah pertanyaan yang selalu
menggelitik para nelayan adalah bagaimana menangkap ikan yang paling
mudah. Jawabannya sederhana mungkin “jawaban bodoh” adalah menangkap ikan
yang sedang “ngumpul” dan syukur-syukur “diem”. Pernyataan “ngumpul
dan diem” inilah yang memacu para nelayan berupaya mengumpulkan ikan dengan
berbagai cara. Cara yang sudah lama kita kenal adalah dengan menggunakan
rumpon (fish agregate device) dan menggunakan atraksi cahaya.
Mencari fish ground alam bukan
pekerjaan mudah. Contoh yang paling sederhana adalah pada penangkapan ikan
kembung dengan menggunakan payang tradisional, kumpulan ikan hanya dapat
diketahui oleh para nelayan yang sudah berpengalaman, atau berdasarkan
pengetahuan yang diturunkan dari orang-orang tua mereka, bahkan tidak jarang
dibarengi dengan mistis. Contoh pada perikanan modern, bagaimana hunting
purse seiner “around the ocean, by day, by weeks, even by month” hanya untuk
mencari dan mengejar kumpulan-kumpulan ikan tuna yang sedang bermigrasi.
Di Indonesia penelitian-penelitian
tentang keempat hal tersebut di atas terutama mengenai ikan-ikan yang hidup di
kawasan perairan Indonesia boleh dikatakan masih langka. Banyak data yang
masih tersimpan di benak-benak para nelayan, para fishing master dan nakhoda
kapal penangkap ikan bahkan perusahaan perikanan. Indonesia sudah mencoba
suatu langkah yang didasarkan pada teknologi penginderaan jarak jauh (Indrajah,
remote sensing) sehingga mampu memantau perubahan suhu dan kandungan klorofil
di permukaan laut hampir diseluruh perairan Indonesia.
Namun demikian perlu diingat bahwa,
teknologi ini didasarkan pada pendeteksian perubahan suhu permukaan dan
pergerakan air laut, sehingga untuk menentukan suatu fishing ground diperlukan
data pendukung utama, yaitu data (insitu) hasil tangkapan. Data inilah
yang sulit diperoleh selain untuk melakukan penelitian yang demikian memerlukan
biaya yang tidak sedikit dimana kita (Indonesia) belum banyak
memilikinya. Data indrajah dapat diperoleh setiap saat, namun data
hasil tangkapan kontinuw dari waktu ke waktu pada fishing ground yang sama
masih menjadi pertanyaan besar.
Secara nasional Indonesia (dalam hal
ini Departemen Pertanian melalui Direktorat Jenderal Perikanan telah menerapkan
Proyek Fishing Log Book) dimana data hasil tangkapan di berbagai tempat
pendaratan ikan dan kapal-kapal penangkap “diharapkan” dapat dicatat. Selain
itu Indonesia telah lama mengenal teknologi pendeteksian bawah air (Underwater
fish detection devices). Dari hanya untuk memperkirakan kedalaman perairan
hingga sekarang dapat digunakan untuk memprediksi baik karakteristik
perairan maupun biotanya. Data hasil pendeteksian fish finder diproses
dengan menggunakan program analisis seperti EP 500 pada komputer PC sederhana,
atau secara life video sehingga dapat diprediksi jumlah densitas per spesies
dan ukuran per ekor, berdasarkan layer tertentu dari dasar laut hingga ke
permukaan dan kawasan, bahkan kecepatan dan arah pergerakan (schooling maupun
individu), berdasarkan ukuran layer. Mungkin suatu saat berbagai upaya di
atas akan dapat digunakan sebagai dasar untuk menentukan suatu daerah penangkapan
ikan tertentu pada waktu tertentu dan tersedia secara kontinu sekaligus “dapat
dipahami dan mudah serta disukai” oleh para nelayan.
Berbicara mengenai fishing ground,
tidak boleh terlepas dari berbagai kondisi perairan yang dinamis, kitapun harus
memahami physical oceanography-nya, harus mengetahui kondisi dasar perairannya,
dan lain sebagainya semua faktor alam yang mempengaruhi teknologi penangkapan
ikan, seperti arus, angin, musim, gelombang, dll.). Kondisi fisik daerah
penangkapan akan sangat mempengaruhi Teknik Penangkapannya (fishing technique),
Kapal Penangkap (fishing vessel), Disain Alat Penangkap Ikan (fishing gear
design), Perlengkapan Kapal Penangkap Ikan (fishing equipment), Perlengkapan
Komunikasi (communication equipment), Perlengkapan Navigasi (navigational
equipment), Kualifikasi dan kualitas SDM (fishing master, nakhoda, dan anak
kapalnya), Biaya Operasional (bahan bakar, pelumas, bahan makanan, hak dan
jaminan sosial bagi awak kapal seperti: gaji, premi, asuransi, sakit, bahkan
keluarga yang ditinggalkannya), hingga manajemen.
Ikan pada umumnya adalah predator,
yang besar memakan yang lebih kecil, yang paling kecil memakan crustacea,
crustacea memakan plankton. Sehingga pada salah satu mata rantai makannya
adalah sangat tergantung dengan adanya unsur hara, chlorophyl dan sinar
matahari menciptakan proses photosintesanya.
Indonesia memperoleh sinar matahari
sepanjang tahun. Hampir seluruh pulau-pulau besar memiliki sungai yang
mengalirkan “bahan unsur hara, yang belum terdekomposisi..??”, pada kenyatanya,
dengan terjadinya penggundulan hutan, maka yang dialirkan adalah sampah hutan
dan endapan lumpur. Diperparah lagi dengan hampir punahnya hutan mangrove
dimana terciptanya awal rantai makanan biota laut. Dengan kata lain
sebesar apapun ikan di samudra sana, makanannya berawal di
mangrove. Belajar dari phenomena ini maka terciptalah fish ground
buatan. Awalnya rumpon dibuat untuk menghasilkan unsur hara ditengah laut
dari daun kelapa yang membusuk, kemudian terciptalah photosintesa, berlanjut
dengan tumbuhnya phitoplankton, zoo plankton, berkumpul pula crustacea, dan
biota laut tingkat tinggi yang berukuran makin besar dan makin besar
akibat adanya sifat predator.
Sumber : http://kabmmu.blogspot.co.id