Senin, 12 Desember 2016

Status Konservasi Penyu di Indonesia

Oleh : Budi Santoso, S.St.Pi

Penyu merupakan salah satu hewan yang tingkat populasinya kian menurun tiap tahunnya, oleh karenanya keberadaannya sangat dilindungi oleh negara. Sehubungan dengan hal tersebut, terdapat lebih dari 80 negara yang diindetifikasikan sebagai habitat utama penyu, dan Indonesia merupakan salah satu negara yang menjadi salah satu tempat utama dalam migrasi penyu ketika memasuki masa peneluran.
Seperti yang diketahui, dari tiap seratus telur yang diproduksi oleh seekor penyu, hanya terdapat 3% yang dapat berhasil menetas dengan baik dan sampai di laut dengan selamat, dan bahkan hanya beberapa diantaranya yang dapat menetaskan kembali telurnya setelah beberapa puluh tahun. Ditambah dengan adanya kebiasaan mengkonsumi telur penyu oleh masyarakat, menjadikan kepunahan dari penyu menjadi semakin terancam menuju kepunahan.
Meskipun pemerintah telah menyatakan bahwa penyu adalah merupakan hewan yang dilindungi, dan juga telah mengeluarkan segilintir peraturan mengenai perlindungan spesies, namun perburuan penyu termasuk telurnya masih marak dilakuan di berbagai daerah di Indonesia.

Status Penyu
Penyu  merupakan  reptil  yang  hidup  di  laut  serta  mampu  bermigrasi  dalam  jarak  yang  jauh  di sepanjang  kawasan  Samudera  Hindia,  Samudra  Pasifik  dan  Asia  Tenggara.  Keberadaannya  telah lama  terancam,  baik  dari  alam  maupun  kegiatan  manusia  yang  membahayakan  populasinya  secara langsung maupun tidak langsung.
Dari tujuh jenis penyu di dunia, tercatat  enam jenis penyu yang hidup di perairan Indonesia yaitu penyu  hijau (Chelonia mydas), penyu sisik (Eretmochelys imbricata),  penyu  abu-abu (Lepidochelys olivacea), penyu pipih (Natator depressus), penyu belimbing (Dermochelys coriacea), serta penyu tempayan (Caretta caretta). Hal tersebut dikarenakan Indonesia memiliki banyak pulau, daerah peseisir yang luas, serta perairan yang luas pula, sehingga menjadikan Indonesia sebagai tempat berkembang biak bagi berbagai satwa liar, dan bahkan daerah berkembang biak terbesar bagi spesies penyu hijau dapat ditemukan di Kalimantan Timur dan Papua Utara bagi spesies penyu belimbing (Fitrian, 2010 : 1).
Secara internasional, penyu masuk ke dalam red list di dalam International Union for Conservation of Nature (IUCN) dan Appendix I Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES) yang berarti bahwa keberadaannya di alam telah terancam punah sehingga segala bentuk pemanfaatan dan peredarannya harus mendapat perhatian secara serius (Direktorat Konservasi dan Taman Nasional Laut, 2009 : 13). Selain itu, Penyu juga merupakan hewan yang dilindungi berdasarkan Appendix I Convention on the Conservation of Migration Species of Wild Animals (CMS), yakni perjanjian yang melingkupi perlindungan terhadap seluruh hewan berpindah termasuk satwa laut seperti penyu beserta kelompoknya (Koesnadi, 1993 : 277)
Faktor yang menjadi pertimbangan dalam memasukan penyu sebagai spesies yang dilindungi adalah adanya faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya penurunan populasi penyu tiap tahunnya. Hal tersebut dikarenakan beberapa hal, yakni adanya pergeseran fungsi lahan yang menyebabkan kerusakan habitat pantai, kematian penyu akibat kegiatan perikanan, pengelolaan teknik-teknik konservasi yang tidak memadai, perubahan iklim, penyakit, pengambilan penyu dan telurnya serta ancaman predator. Selain itu pula,  karakteristik siklus hidup penyu sangat panjang (terutama penyu hijau, penyu sisik dan penyu tempayan) dan untuk mencapai  kondisi “stabil”  (kelimpahan  populasi  konstan  selama  5  tahun terakhir) dapat memakan waktu cukup lama yakni sekitar 30–40 tahun (Direktorat Konservasi dan Taman Nasional Laut, 2009 : 15). Sehubungan dengan berbagai hal diatas, maka pemerintah Indonesia kemudian menyadari betapa pentingnya upaya konservasi untuk melindungi dan mengembalikan populasi penyu di perairan Indonesia, baik dengan cara in-situ maupun ex-situ.

Pelaksanaan Perlindungan Penyu di Indonesia
Ironisnya, selain sebagai negara dengan kekayaan alam yang tinggi, Indonesia juga merupakan negara dengan tingkat kepunahan hewan yang sangat tinggi, khususnya spesies penyu. Hal ini dilihat dari tingginya perburuan terhadap penyu dikarenakan sangat tingginya permintaan pasar terhadap berbagai hewan langka dan liar untuk digunakan sebagai makanan ataupun pernak-pernik, sehingga perburuan terhadap hewan yang dilindungi sangat lah sulit untuk dilaksanakan di Indonesia. Padahal, berbagai peraturan terkait perburuan dan perdagangan satwa liar telah diatur dalam berbagai peraturan seperti Keppres No. 43/1978 tentang pengesahahan Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Flora and Fauna (CITES), UU No. 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya, hingga di dalam PP No. 7/ 1999 tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Satwa dan PP No. 8/1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan dan Satwa.
Keseluruhan peraturan tersebut pada hakikatnya ditujukan untuk memberikan perlindungan terhadap penyu serta keseluruhan bagian tubuhnya termasuk pula terhadap telurnya. Dengan demikian, berbagai peraturan ini mengatur bahwa menangkap, menyakiti, membunuh, memelihara, menyimpan, memindahkan maupun melakukan perdaganagan terhadap spesies yang dilindungi ini adalah dilarang. Dengan ketentuan bahwa bagi tiap pelanggar, akan dikenakan denda penjara maksimal 5 (lima) tahun dan  denda maksimal Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah) (Vide Pasal 21 jo. Pasal 40 UU No. 5/90) ataupun denda maksimal Rp.40.000.000,- (empat puluh juta rupiah) dan/atau sanksi berupa tidak dapat melakukan kegiatan pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar (Vide Pasal 50 ayat (3) PP No. 8/99).
Namun demikian, kehadiran dari berbagai peraturan tersebut belumlah dapat memberikan kontribusi yang lebih terhadap upaya perlindungan satwa liar, khususnya penyu. Hal tersebut dikarenakan, meskipun ditentukan bahwa perdagangan ataupun kepemlikan secara tidak sah terhadap satwa liar merupakan tindakan yang melanggar hukum, namun pada praktiknya masih banyak kasus yang walaupun telah diadili melalui proses persidangan, namun para pelaku masih dapat dengan mudah lepas dari jeratan hukum. Sekalipun ada beberapa pelaku yang telah diputus bersalah, namun sanksi yang dijatuhkan sangatlah ringan dan tidak seimbang apabila dibandingkan dengan jumlah kerusakan terhadap lingkungan yang telah dilakukan. Salah satu alasannya adalah disebabkan rendahnya dan terbatasnya kapabilitas dan pengetahuan para aparatur negara terkait permasalahan lingkungan beserta berbagai aturan terkait baik pada tingkat nasional maupun tingkat internasional, sehingga tidak dapat diterapkan pada saat proses persidangan. Selain itu, kurang optimalnya pelaksanaan perlindungan terhadap penyu juga dikarenakan adanya berbagai permasalahan yang dapat dilihat dari 3 (tiga) aspek, yakni aspek peraturan perundangan-undangan, aspek pemerintahan serta aspek dari masyarakat itu sendiri.
Dari aspek peraturan perundang-undangan itu sendiri, bahwa Pertama yakni ketentuan sanksi denda yang diatur ditentukan secara maksimal tanpa mengatur mengenai ketentuan minimum, yakni paling banyak Rp. 100.000.000 untuk hewan yang dilindungi dan Rp. 40.000.000 untuk hewan liar yang diambil tanpa izin. Dengan ketentuan seperti ini, artinya bahwa biaya yang nanti dapat dikeluarkan oleh para pelaku yang tertangkap, hanya paling banyak Rp.100.000.000, padahal dengan perdagangan illegal yang dilakukan, memberikan dampak potensi kerusakan dan kepunahan yang menghabiskan biaya yang jauh lebih besar daripada Rp.100.000.000 sebagai upaya pemulihan kembali dari akibat tindakan illegal yang dilakukan oleh pelaku.
Kedua, bahwa terdapat disparitas jiwa dari berbagai UU yang dimiliki oleh Indonesia, hal ini dapat dilihat seperti dari kasus di Sukabumi, dimana Perda Sukabumi No. 16/2005 tentang Pelestarian Penyu, dikeluarkan tanpa berpihak pada kelestarian satwa. Walau judulnya tentang ‘pelestarian’ tapi perda ini mengatur pemanfaatan telur penyu. Dengan berpedoman pada UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, Pemerintah Kabupaten Sukabumi mengabaikan aturan di dalam UU No. 5/1990 sehingga merasa bahwa segala sesuatu yg berada di kawasan tersebut adalah kewenangan Pemda terlepas dari status penyu dan bagian-bagiannya yang merupakan jenis satwa yang dilindungi. Dengan konsep pemikiran tersebut, kemudian Pemda Sukabumi membuat perjanjian dengan pihak kedua untuk melakukan pemanenan telur penyu di Pantai Pangumbahan, dengan presentasi pembagian 50% untuk dimanfaatkan dan 50% untuk dilepaskan ke alam (Pokja Kebijakan Konservasi, 2008 : 41)
Dalam aspek pemerintahan, Pertama adalah kenyataan bahwa selama ini, permasalhaan yang selalu dikritisi oleh masyrakat internasional adalah bahwa meskpiun Indonesia memiliki banyak peraturan, namun kekuatan pemerintah dalam mengimplementasikan berbagai peraturan tersebut sangatlah lemah, karena tidak adanya lembaga pengawas yang bertugas untuk mengatur dan mengevaluasi pelaksanaan dai peraturan yang telah dibentuk. Seperti kasus Pemkab Sukabumi diatas misalnya, ketentuan mengenai presentasi yang berupa 50% untuk dimanfaatkan dan 50% untuk dilepaskan pun sebenarnya menuai permasalahan karena tidak ada lembaga yang melakukan kontrol dan evaluasi, terkait jumlah telur yang didapat, berapa yang ditetaskan untuk kemudian dikembalikan ke alam dan berapa yang diperdagangkan. Ketidak jelasan hitungan berpotensi terjadinya penyelewengan-penyelewengan yang dilakukan oleh pihak kedua, dan Pemda Sukabumi pun terkesan membiarkan hal tersebut tanpa ada upaya dari Pemda untuk menghentikan eksploitasi terhadap telur penyu. Sehingga saat ini populasi penyu di daerah tersebut pun semakin menurun drastis (Loc.Cit.)
Kedua adalah adanya konflik yang dapat terjadi antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah, dimana Pemerintah pusat cenderung menghendaki adanya suatu kawasan dilindungi, sehingga pembangunan fisik kawasan harus dilakukan secara hati-hati, jangan sampai berdampak negatif terhadap sumberdaya hayati yang ada di dalam kawasan yang dilindungi. Di sisi lain, pemerintah daerah menginginkan daerahnya bisa dimanfaatkan secara optimal untuk pembangunan. Bahkan, adanya kawasan konservasi seringkali dianggap sebagai beban, bukan manfaat. Hal tersebut dikarenakan beberapa hal, yakni : (Ibid. : 42)
  1. Pemerintah daerah tidak bisa  berinvestasi dan mengalami kendala dalam membangun infrastruktur di daerah sekitar kawasan konservasi;
  2. Pemerintah daerah tidak memperoleh informasi yang meyakinkan tentang manfaat tidak langsung dari kawasan konservasi; dan
  3. Pemerintah daerah mau tidak mau harus mengalokasikan sumberdaya untuk mengatasi konflik apabila terjadi konflik antara masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan konservasi dengan pengelola kawasan
Dalam aspek masyarakat, Pertama adalah adanya tradisi adat seperti dalam upacara adat, yang mana mengharuskan penggunaan penyu sebagai bahan utama perayaan atau pelaksanaan upacaranya. Hal ini dapat dilihat, dimana berdasarkan penelitian dari WWF, di Bali pernah sempat terjadi pembantain besar-besaran terhadap penyu untuk dikonsumsi di dalam upacara adat. Selain itu juga, masyarakat Ayau Papua juga memiliki tradisi untuk memakan penyu dalam rangka menyelenggarakan suatu pesta (Fachruddin, 2008 : 10).
Kedua adalah mata pencaharian utama masyarakat yang telah dirintis sejak lama, baik makanan maupun berbagai pernak pernik dan perhiasan khas suatu daerah. Hal ini dapat dilihat dimana di Banjarmasin, lusinan pedagang menjual berbagai telur penyu dengan bebas di pinggir jalan. Telur-telur tersebut dipatkan dari para nelayan dan penduduk lokal dari pulau Sebuku dan beberapa daerah di Kalimantan Selatan (Kompas, 16 Juli 2012). Permasalahan yang dihadapi adalah banyak masyarakat yang mengamuk ketika pemerintah daerah setempat mulai melarang penjualan tersebut, hal tersebut dikarenakan banyak nelayan dan pedagang yang telah menggantungkan hidupnya dalam penjualan pernak-pernik dan makanan dari penyu tersebut.
Ketiga adalah rendahnya kesadaran masyarakat akan pentingnya kelangsungan maupun perlindungan terhadap kelangkaan akan suatu spesies, dimana hal ini dikarenakan banyak dari masyarakat yang tidak mendapatkan sosialisasi dari pemerintah secara maksimal akan pentingnya keberlangsungan suatu spesies dan akibatnya apabila spesies tersebut punah, hal ini mengakibatkan pola pikir masyarakat cenderung untuk berpikir bahwa “kalau sekarang ada, pasti besok juga ada”. Sehingga perburuan dan perdangan penyu pun terus terjadi.

Sumber : baliseaturtle.or.id/perlindungan-penyu-di-indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar