Oleh : Budi Santoso, S.St.Pi
Penyu merupakan salah satu hewan yang tingkat populasinya kian
menurun tiap tahunnya, oleh karenanya keberadaannya sangat dilindungi
oleh negara. Sehubungan dengan hal tersebut, terdapat lebih dari 80
negara yang diindetifikasikan sebagai habitat utama penyu, dan Indonesia
merupakan salah satu negara yang menjadi salah satu tempat utama dalam
migrasi penyu ketika memasuki masa peneluran.
Seperti yang
diketahui, dari tiap seratus telur yang diproduksi oleh seekor penyu,
hanya terdapat 3% yang dapat berhasil menetas dengan baik dan sampai di
laut dengan selamat, dan bahkan hanya beberapa diantaranya yang dapat
menetaskan kembali telurnya setelah beberapa puluh tahun. Ditambah
dengan adanya kebiasaan mengkonsumi telur penyu oleh masyarakat,
menjadikan kepunahan dari penyu menjadi semakin terancam menuju
kepunahan.
Meskipun pemerintah telah menyatakan bahwa penyu
adalah merupakan hewan yang dilindungi, dan juga telah mengeluarkan
segilintir peraturan mengenai perlindungan spesies, namun perburuan
penyu termasuk telurnya masih marak dilakuan di berbagai daerah di
Indonesia.
Status Penyu
Penyu
merupakan reptil yang hidup di laut serta mampu bermigrasi
dalam jarak yang jauh di sepanjang kawasan Samudera Hindia,
Samudra Pasifik dan Asia Tenggara. Keberadaannya telah lama
terancam, baik dari alam maupun kegiatan manusia yang
membahayakan populasinya secara langsung maupun tidak langsung.
Dari tujuh jenis penyu di dunia, tercatat enam jenis penyu yang hidup di perairan Indonesia yaitu penyu hijau (Chelonia mydas), penyu sisik (Eretmochelys imbricata), penyu abu-abu (Lepidochelys olivacea), penyu pipih (Natator depressus), penyu belimbing (Dermochelys coriacea), serta penyu tempayan (Caretta caretta). Hal
tersebut dikarenakan Indonesia memiliki banyak pulau, daerah peseisir
yang luas, serta perairan yang luas pula, sehingga menjadikan Indonesia
sebagai tempat berkembang biak bagi berbagai satwa liar, dan bahkan
daerah berkembang biak terbesar bagi spesies penyu hijau dapat ditemukan
di Kalimantan Timur dan Papua Utara bagi spesies penyu belimbing (Fitrian, 2010 : 1).
Secara internasional, penyu masuk ke dalam red list di dalam International Union for Conservation of Nature (IUCN) dan Appendix I Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES)
yang berarti bahwa keberadaannya di alam telah terancam punah sehingga
segala bentuk pemanfaatan dan peredarannya harus mendapat perhatian
secara serius (Direktorat Konservasi dan Taman Nasional Laut, 2009 :
13). Selain itu, Penyu juga merupakan hewan yang dilindungi berdasarkan
Appendix I Convention on the Conservation of Migration Species of Wild Animals
(CMS), yakni perjanjian yang melingkupi perlindungan terhadap seluruh
hewan berpindah termasuk satwa laut seperti penyu beserta kelompoknya
(Koesnadi, 1993 : 277)
Faktor yang menjadi pertimbangan dalam
memasukan penyu sebagai spesies yang dilindungi adalah adanya
faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya penurunan populasi penyu tiap
tahunnya. Hal tersebut dikarenakan beberapa hal, yakni adanya pergeseran
fungsi lahan yang menyebabkan kerusakan habitat pantai, kematian penyu
akibat kegiatan perikanan, pengelolaan teknik-teknik konservasi yang
tidak memadai, perubahan iklim, penyakit, pengambilan penyu dan telurnya
serta ancaman predator. Selain itu pula, karakteristik siklus hidup
penyu sangat panjang (terutama penyu hijau, penyu sisik dan penyu
tempayan) dan untuk mencapai kondisi “stabil” (kelimpahan populasi
konstan selama 5 tahun terakhir) dapat memakan waktu cukup lama yakni
sekitar 30–40 tahun (Direktorat Konservasi dan Taman Nasional Laut,
2009 : 15). Sehubungan dengan berbagai hal diatas, maka pemerintah
Indonesia kemudian menyadari betapa pentingnya upaya konservasi untuk
melindungi dan mengembalikan populasi penyu di perairan Indonesia, baik
dengan cara in-situ maupun ex-situ.
Pelaksanaan Perlindungan Penyu di Indonesia
Ironisnya,
selain sebagai negara dengan kekayaan alam yang tinggi, Indonesia juga
merupakan negara dengan tingkat kepunahan hewan yang sangat tinggi,
khususnya spesies penyu. Hal ini dilihat dari tingginya perburuan
terhadap penyu dikarenakan sangat tingginya permintaan pasar terhadap
berbagai hewan langka dan liar untuk digunakan sebagai makanan ataupun
pernak-pernik, sehingga perburuan terhadap hewan yang dilindungi sangat
lah sulit untuk dilaksanakan di Indonesia. Padahal, berbagai peraturan
terkait perburuan dan perdagangan satwa liar telah diatur dalam berbagai
peraturan seperti Keppres No. 43/1978 tentang pengesahahan Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Flora and Fauna
(CITES), UU No. 5/1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya, hingga di dalam PP No. 7/ 1999 tentang Pengawetan Jenis
Tumbuhan dan Satwa dan PP No. 8/1999 tentang Pemanfaatan Jenis Tumbuhan
dan Satwa.
Keseluruhan peraturan tersebut pada hakikatnya
ditujukan untuk memberikan perlindungan terhadap penyu serta keseluruhan
bagian tubuhnya termasuk pula terhadap telurnya. Dengan demikian,
berbagai peraturan ini mengatur bahwa menangkap, menyakiti, membunuh,
memelihara, menyimpan, memindahkan maupun melakukan perdaganagan
terhadap spesies yang dilindungi ini adalah dilarang. Dengan ketentuan
bahwa bagi tiap pelanggar, akan dikenakan denda penjara maksimal 5
(lima) tahun dan denda maksimal Rp. 100.000.000,- (seratus juta rupiah)
(Vide Pasal 21 jo. Pasal 40 UU No. 5/90) ataupun denda maksimal
Rp.40.000.000,- (empat puluh juta rupiah) dan/atau sanksi berupa tidak
dapat melakukan kegiatan pemanfaatan tumbuhan dan satwa liar (Vide Pasal
50 ayat (3) PP No. 8/99).
Namun demikian, kehadiran dari
berbagai peraturan tersebut belumlah dapat memberikan kontribusi yang
lebih terhadap upaya perlindungan satwa liar, khususnya penyu. Hal
tersebut dikarenakan, meskipun ditentukan bahwa perdagangan ataupun
kepemlikan secara tidak sah terhadap satwa liar merupakan tindakan yang
melanggar hukum, namun pada praktiknya masih banyak kasus yang walaupun
telah diadili melalui proses persidangan, namun para pelaku masih dapat
dengan mudah lepas dari jeratan hukum. Sekalipun ada beberapa pelaku
yang telah diputus bersalah, namun sanksi yang dijatuhkan sangatlah
ringan dan tidak seimbang apabila dibandingkan dengan jumlah kerusakan
terhadap lingkungan yang telah dilakukan. Salah satu alasannya adalah
disebabkan rendahnya dan terbatasnya kapabilitas dan pengetahuan para
aparatur negara terkait permasalahan lingkungan beserta berbagai aturan
terkait baik pada tingkat nasional maupun tingkat internasional,
sehingga tidak dapat diterapkan pada saat proses persidangan. Selain
itu, kurang optimalnya pelaksanaan perlindungan terhadap penyu juga
dikarenakan adanya berbagai permasalahan yang dapat dilihat dari 3
(tiga) aspek, yakni aspek peraturan perundangan-undangan, aspek
pemerintahan serta aspek dari masyarakat itu sendiri.
Dari aspek
peraturan perundang-undangan itu sendiri, bahwa Pertama yakni ketentuan
sanksi denda yang diatur ditentukan secara maksimal tanpa mengatur
mengenai ketentuan minimum, yakni paling banyak Rp. 100.000.000 untuk
hewan yang dilindungi dan Rp. 40.000.000 untuk hewan liar yang diambil
tanpa izin. Dengan ketentuan seperti ini, artinya bahwa biaya yang nanti
dapat dikeluarkan oleh para pelaku yang tertangkap, hanya paling banyak
Rp.100.000.000, padahal dengan perdagangan illegal yang dilakukan,
memberikan dampak potensi kerusakan dan kepunahan yang menghabiskan
biaya yang jauh lebih besar daripada Rp.100.000.000 sebagai upaya
pemulihan kembali dari akibat tindakan illegal yang dilakukan oleh
pelaku.
Kedua, bahwa terdapat disparitas jiwa dari berbagai UU
yang dimiliki oleh Indonesia, hal ini dapat dilihat seperti dari kasus
di Sukabumi, dimana Perda Sukabumi No. 16/2005 tentang Pelestarian
Penyu, dikeluarkan tanpa berpihak pada kelestarian satwa. Walau judulnya
tentang ‘pelestarian’ tapi perda ini mengatur pemanfaatan telur penyu.
Dengan berpedoman pada UU 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah,
Pemerintah Kabupaten Sukabumi mengabaikan aturan di dalam UU No. 5/1990
sehingga merasa bahwa segala sesuatu yg berada di kawasan tersebut
adalah kewenangan Pemda terlepas dari status penyu dan bagian-bagiannya
yang merupakan jenis satwa yang dilindungi. Dengan konsep pemikiran
tersebut, kemudian Pemda Sukabumi membuat perjanjian dengan pihak kedua
untuk melakukan pemanenan telur penyu di Pantai Pangumbahan, dengan
presentasi pembagian 50% untuk dimanfaatkan dan 50% untuk dilepaskan ke
alam (Pokja Kebijakan Konservasi, 2008 : 41)
Dalam aspek
pemerintahan, Pertama adalah kenyataan bahwa selama ini, permasalhaan
yang selalu dikritisi oleh masyrakat internasional adalah bahwa meskpiun
Indonesia memiliki banyak peraturan, namun kekuatan pemerintah dalam
mengimplementasikan berbagai peraturan tersebut sangatlah lemah, karena
tidak adanya lembaga pengawas yang bertugas untuk mengatur dan
mengevaluasi pelaksanaan dai peraturan yang telah dibentuk. Seperti
kasus Pemkab Sukabumi diatas misalnya, ketentuan mengenai presentasi
yang berupa 50% untuk dimanfaatkan dan 50% untuk dilepaskan pun
sebenarnya menuai permasalahan karena tidak ada lembaga yang melakukan
kontrol dan evaluasi, terkait jumlah telur yang didapat, berapa yang
ditetaskan untuk kemudian dikembalikan ke alam dan berapa yang
diperdagangkan. Ketidak jelasan hitungan berpotensi terjadinya
penyelewengan-penyelewengan yang dilakukan oleh pihak kedua, dan Pemda
Sukabumi pun terkesan membiarkan hal tersebut tanpa ada upaya dari Pemda
untuk menghentikan eksploitasi terhadap telur penyu. Sehingga saat ini
populasi penyu di daerah tersebut pun semakin menurun drastis (Loc.Cit.)
Kedua
adalah adanya konflik yang dapat terjadi antara pemerintah pusat dengan
pemerintah daerah, dimana Pemerintah pusat cenderung menghendaki adanya
suatu kawasan dilindungi, sehingga pembangunan fisik kawasan harus
dilakukan secara hati-hati, jangan sampai berdampak negatif terhadap
sumberdaya hayati yang ada di dalam kawasan yang dilindungi. Di sisi
lain, pemerintah daerah menginginkan daerahnya bisa dimanfaatkan secara
optimal untuk pembangunan. Bahkan, adanya kawasan konservasi seringkali
dianggap sebagai beban, bukan manfaat. Hal tersebut dikarenakan beberapa
hal, yakni : (Ibid. : 42)
- Pemerintah daerah tidak bisa berinvestasi dan mengalami kendala dalam membangun infrastruktur di daerah sekitar kawasan konservasi;
- Pemerintah daerah tidak memperoleh informasi yang meyakinkan tentang manfaat tidak langsung dari kawasan konservasi; dan
- Pemerintah daerah mau tidak mau harus mengalokasikan sumberdaya untuk mengatasi konflik apabila terjadi konflik antara masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan konservasi dengan pengelola kawasan
Dalam
aspek masyarakat, Pertama adalah adanya tradisi adat seperti dalam
upacara adat, yang mana mengharuskan penggunaan penyu sebagai bahan
utama perayaan atau pelaksanaan upacaranya. Hal ini dapat dilihat,
dimana berdasarkan penelitian dari WWF, di Bali pernah sempat terjadi
pembantain besar-besaran terhadap penyu untuk dikonsumsi di dalam
upacara adat. Selain itu juga, masyarakat Ayau Papua juga memiliki
tradisi untuk memakan penyu dalam rangka menyelenggarakan suatu pesta
(Fachruddin, 2008 : 10).
Kedua adalah mata pencaharian utama
masyarakat yang telah dirintis sejak lama, baik makanan maupun berbagai
pernak pernik dan perhiasan khas suatu daerah. Hal ini dapat dilihat
dimana di Banjarmasin, lusinan pedagang menjual berbagai telur penyu
dengan bebas di pinggir jalan. Telur-telur tersebut dipatkan dari para
nelayan dan penduduk lokal dari pulau Sebuku dan beberapa daerah di
Kalimantan Selatan (Kompas, 16 Juli 2012). Permasalahan yang dihadapi
adalah banyak masyarakat yang mengamuk ketika pemerintah daerah setempat
mulai melarang penjualan tersebut, hal tersebut dikarenakan banyak
nelayan dan pedagang yang telah menggantungkan hidupnya dalam penjualan
pernak-pernik dan makanan dari penyu tersebut.
Ketiga adalah
rendahnya kesadaran masyarakat akan pentingnya kelangsungan maupun
perlindungan terhadap kelangkaan akan suatu spesies, dimana hal ini
dikarenakan banyak dari masyarakat yang tidak mendapatkan sosialisasi
dari pemerintah secara maksimal akan pentingnya keberlangsungan suatu
spesies dan akibatnya apabila spesies tersebut punah, hal ini
mengakibatkan pola pikir masyarakat cenderung untuk berpikir bahwa
“kalau sekarang ada, pasti besok juga ada”. Sehingga perburuan dan
perdangan penyu pun terus terjadi.
Sumber : baliseaturtle.or.id/perlindungan-penyu-di-indonesia
Sumber : baliseaturtle.or.id/perlindungan-penyu-di-indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar