Minggu, 17 April 2016

Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) Sebagai Sistem Manajemen Mutu Terpadu Hasil Perikanan.

Oleh :
Budi Santoso, S.St.Pi

Dalam era globalisasi dan perdagangan bebas, perhatian terhadap perlindungan konsumen semakin meningkat. Semakin majunya teknologi dan informatika menyebabkan produk – produk yang ditawarkan menjadi lebih bervariasi baik produk dalam negeri maupun luar negeri. Hal ini tentu saja bermanfaat bagi konsumen karena kebutuhannya dapat dipenuhi dengan jumlah dan jenis barang yang dinginkan. Namun,   dapat pula mengakibatkan kedudukan pelaku usaha dan konsumen tidak seimbang, misalnya pola konsumsi masyarakat Indonesia justru banyak ditentukan oleh pelaku usaha, dan bukan oleh konsumen sendiri. Melalui kekuatan promosi, pelaku usaha mampu menciptakan pemahaman kepada konsumen akan kehebatan suatu produk, bahkan menjadikan konsumen sangat bergantung pada produk tersebut. Ini dapat dilihat dari ketergantungan masyarakat pada produk air minum, kosmetika, makanan/ minuman sehat, dan sebagainya

Kejadian-kejadian atau kasus-kasus konsumen tersebut  mengesankan bahwa posisi konsumen Indonesia lemah. Faktor utama yang menjadi kelemahan konsumen ialah rendahnya tingkat kesadaran konsumen tentang hak-haknya. Dalam upaya pemberdayaan konsumen Indonesia, pada tanggal 20 April 1999 telah diundangan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Undang-undang ini mulai berlaku setelah satu (1) tahun sejak diundangkannya (Pasal 65). Dengan demikian, Undang-undang ini sudah mulai berlaku sejak tanggal 20 April 2000. Undang-undang yang melindungi konsumen ini tidak bermaksud untuk mematikan usaha para pelaku usaha, tetapi justru untuk mendorong iklim berusaha yang sehat sehingga melahirkan perusahaan yang tangguh dalam menghadapi persaingan usaha yang sehat  melalui penyediaan barang yang berkualitas. Perlindungan Konsumen ialah segala upaya yang menjamin adanya kepastian untuk memberi perlindungan kepada konsumen (lihat Pasal 1 angka 1).

      Di Indonesia, perlindungan konsumen secara jelas dan tegas baru dilakukan pada tahun 1999 dengan diundangkannya Undang-undang No 8 Tahun 1999.
Hak-hak konsumen di Indonesia dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1999 (Pasal 4) adalah :
a.    hak atas kenyamanan, keamanan, dan keselamatan dalam mengkonsumsi barang dan/ jasa;
b.    hak untuk memilih barang dan/ atau jasa serta mendapatkan baranga dan/ atau jasa tersebut sesuai dengan nilai tukar dan kondisi serta jaminan yang dijanjikan;
c.    hak atas informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang-barang dan/atau jasa;
d.   hak untuk didengar pendapat dan keluhan-keluhannya atas barang dan/ atau jasa yang digunakan;
e.    hak untuk mendapatkan advokasi, perlindungann dan upaya penyelesaian sengketa perlindungan konsumen secara patut;
f.     hak untuk mendapatkan pembinaan dan pendidikan konsumen;
g.    hak untuk diperlakukan dan dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
h.    hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi dan/ atau pengganti barang dan/ atau jasa yang diterima tidak sesuai dengan perjanjian atau tidak sebagaimana mestinya.

Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) adalah suatu sistem kontrol dalam upaya pencegahan terjadinya masalah yang didasarkan atas identifikasi titik-titik kritis di dalam tahap penanganan dan proses produksi. Hal ini dilakukan untuk mengamankan konsumen/permintaan konsumen dengan car mengamati titik – titik kritis mulai dari proses produksi, pengolahan sampai distribusi hingga sampai ketangan konsumen. Pada UU No. 9 tahun 1985 Bab V Pasal 19 Pemerintah mengatur tata niaga ikan dan melaksanakan pembinaan mutu hasil perikanan, Pemerintah mengatur tentang tata cara melakukan proses  tata niaga dari mulai produksi, pengolahan hingga distibusi kepada konsumen untuk menjaga keutuhan kualitas mutu dari produk – produk tersebut. Untuk itu semua produk – produk perikanan tidak bisa begitu saja beredar di kalanggan masyarakat, banyak persyartan yang harus dipenuhi. Pada  pasal 20 UU N. 31 Tahun 2004 Bab IV tantang pengelolaan perikanan menyebutkan bahwa proses pengolahan ikan/produk perikanan wajib memenuhi syarat sebagai berikut : adanya kelayakan pengolahan perikanan, adanya sistem jaminan mutu, dan perlindungan keamanan hasil perikanan. Sistem jaminan mutu dan keamanan hasil perikanan terdiri dari pengawasan dan pengendalian mutu, pengembangan dan penerapan persyaratan atau standarisasi bahan baku, sanitasi dan teknik penanganan serta pengolahan mutu produk, sarana dan prasarana beserta metode pengujiannya. Setiap produk perikanan juga harus memiliki sertifikasi, baik itu sertifikat kelayakan pengolahan maupun sertifikat program manajemen mutu terpadu. Jaminan mutu ini juga diatur pada peraturan menteri kelautan dan perikanan  No. Per. 01/MEN/2007 tentang Pengendalian sistem jaminan mutu dan keamanan hasil perikanan berisi tentang apa saja yang harus dipenuhi sebagai satuan dari sistem  Jaminan  Mutu  dan  Keamanan  sebagai  upaya  pencegahan  yang  harus diperhatikan dan dilakukan sejak pra produksi sampai dengan pendistribusian untuk  menghasilkan hasil perikanan yang bermutu  dan aman bagi  kesehatan manusia. Pelarangan penggunaan zat kimia berbahaya pada produk hasil perikanan juga diatur dalam Peraturan menteri kelautan dan perikanan No. Per.02/MEN/2007 Tentang monitoring  Residu obat, bahan kimia, bahan biologi dan kountaminan pada pembudidaya ikan. Jadi tidak semua bahan kimia itu diperbolehka. Misalnya saja bahan kimia yang dilarang untuk digunakan adalah Rhodamin B, Boraks dan Formalin.

Mengenai standarisasi mutu melaui sertifikasi ini juga dipertegas sekaligus diperjelas  Pada peraturan menteri kelautan dan perikanan Bab IV pasal 21  No. Per. 01/MEN/2007 tentang Pengendalian sistem jaminan mutu dan keamanan hasil perikanan pada proses produksi, pengolahan, dan distribusi juga menyebutkan bahwa analisa  bahaya  dan pengendalian  titik  kritis ( HACCP ) untuk memberikan  jaminan  mutu  dari  produk  yang diolah di unit pengolahan ikan dimulai dari cara  budidaya  yang  baik dan penanganan yang baik serta sertifikasi yang harus dipenuhi diantaranya Sertifikat Kelayakan Pengolahan (SKP) adalah sertifikat yang diberikan kepada UPI  yang  telah  menerapkan Good  Manufacturing  Practices  (GMP), memenuhi Standard Sanitation Operating Procedure (SSOP), Good  Hygine  Practices  (GHP) Sertifikat  Penerapan  Program  Manajemen  Mutu    Terpadu  (PMMT)  atau Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) serta Sertifikat  Kesehatan  (Health  Certificate) pada ikan hasil perikanan sesuai  dengan  standar  dan  regulasi  dari Otoritas Kompeten.
HACCP juga diterapkan sampai proses distribusi, hal ini diatur dalam Peraturan Dirjen Pengolahan dan pemasaran hasil perikanan ( P2HP ) No. PER.011/DJ-P2HP/2007 Tentang pedoman teknis penerapan sistem jaminan mutu dan keamanan hasil perikanan.
Penerapan HACCP sebagai alat pengatur keamanan pangan dapat memberikan keuntungan, yaitu mencegah terjadinya bahaya sebelum mencapai meminimalkan risiko kesehatan yang berkaitan dengan konsumsi makanan karena adanya preventif melalui penjaminan mutu dari awal produksi, pengolahan sampai distribusi hingga sampai ke tangan konsumen, meningkatkan kepercayaan akan keamanan makanan olahan kepada komsumen sehingga secara tidak langsung mempromosikan perdagangan dan stabilitas usaha makanan karena konsumen merasa di penuhi hak – haknya serta menghindarkan produk- produk makanan khususnya produk perikanan dari bahan-bahan kimia berbahaya, berkurangnya mutu akibat adanya bahaya fisik seperti suhu, cuaca, dan kelalaian produsen atau distributor  serta mencegah produk makanan dari bahaya bakteri dan virus akibat adanya kontaminasi. Beberapa kerugian dari HACCP adalah tidak cocok bila diaplikasikan untuk bahaya atau proses yang hanya sedikit diketahui karena dikhawatirkan akan terjadi salah perlakuan sehingga menyebabkan kerusakan atau kerugian yang fatal dan berbahaya, tidak melakukan kuantifikasi (penghitungan) atau memprioritaskan risiko, dan tidak melakukan kuantifikasi dampak dari tambahan kontrol terhadap penurunan risiko,misalnya saja bila tidak dilakukan melalui penelitian terlebih dahulu bisa saja terdapat kemungkinan akibat adanya kontrol yang berlebihan menyebabkan bakteri atau virus yang menyerang menjadi resisten terhadap produk yang dilindungi tersebut.
Dari uraian diatas Hazard Analysis Critical Control Point (HACCP) Suatu sistem jaminan mutu yang didasarkan pada kesadaran bahwa bahaya (hazard) dapat terjadi pada setiap titik dalam rangkaian produksi. HACCP ini sangat perlu untuk diimplementasikan secara menyeluruh kepada setiap produk makanan yang beredar di Indinesia, akibat adanya perkembangan teknologi yang menyebabkan kemajuan juga terhadap berbagai jenis makanan di Indonesia mulai dari adanyan pengawetan, peningkatan tampilan, peningkatan gizi dan kecepatan penyajian ( makanan cepat saji ) menyebabkan kemungkinan adanya kontaminasi, zat warna tidak aman dan penggunaan zat aditif lain yag tidak aman, berbahaya bagi kesehatan dan bersifat karsinogenik. Melaui 3 Pendekatan HACCP, yaitu Aspek dalam proses produksi yang dapat menyebabkan timbulnya penyakit/kematian (Food Safety), Karakteristik proses dalam kaitannya dengan kontaminasi dan higienis (Wholesomeness/Kebersihan), Tindakan Ilegal yang merugikan konsumen ( Economic Fraud/ Pemalsuan ) menerapkan 7 prinsip, yaitu 1). Mengidentifikasi potensi bahaya pada semua tahapan dalam industri pangan. 2). Menentukan titik atau tahapan operasional yang dapat dikendalikan untuk meminimalkan bahaya (CCP). 3). Menetapkan batas kritis yang harus dicapai untuk menjamin bahwa CCP
Berada dalam kendali. 4). Menetapkan sistem monitoring dengan pengamatan dan pengujian. 5). Menetapkan tindakan perbaikan bila hasil monitoring menunjukkan bahwa CCP tertentu tidak terkendali. 6). Menetapkan prosedur verifikasi untuk keperluan penyesuaian. 7). Menjalankan sistem dokumentasi tentang HACCP. Jadi, HACCP ini benar – benar menjaga dan mengawasi agar kualitas atau mutu dari produk pangan dari awal produksi, pengolahan sampai distribusi secara bertahap dengan meminimalisir setiap resiko yang ditimbulkan dari setiap proses produksi. Sehingga dapat dipastikan bahwa produksi pangan aman setiap saat dan terjaga mutu serta kebersihannya. Tapi, tetap harus dijaga agar kontrol yang dilakukann tidak menyebabkan masalah baru, misalnya saja tumbuhnya bakteri resisten atau menurunkan gizi produk makanan tersebut. Selain itu untuk mengimplementasikan sistem HACCP ini  harus dilakukan dalam semua divisi dalam lingkup industri, agar dapat menghasilkan jaminan keamanan yang benar – benar efektif.

ASPEK ASPEK YANG PERLU DIPERHATIKAN DALAM PEMBINAAN NELAYAN



Oleh :
Budi Santoso, S.St.Pi



I.       PENDAHULUAN
1.        Latar  Belakang
Memperhatikan berbagai isu mengenai kemiskinan masyarakat pesisir dan upaya pembinaan nelayan yang belum optimal, tidak sedikit program yang telah berjalan selama lebih kurang satu dekade ini dan telah menunjukan keberhasilan yang baik meskipun masih terdapat berbagai macam kendala yang perlu dicarikan solusinya. Masyarakat pesisir secara harafiah diartikan sebagai masyarakat yang berdomisili di wilayah pesisir. Namun pemahaman dalam konteks pengembangan masyarakat (community development), “nomenklatur” masyarakat pesisir dipadankan dengan kelompok masyarakat yang berdomisili di wilayah pesisir yang hidupnya masih “tertinggal” seperti  nelayan, pembudidaya ikan, buruh pelabuhan, dsb bila dibandingkan dengan kelompok masyarakat pesisir lainnya seperti pedagang, pengusaha perhotelan, dsb yang lebih sejahtera. 

3.   Rumusan Masalah
Aspek – aspek apa saja yang perlu diperhatikan dalam upaya pembinaan nelayan ?

II.      KAJIAN TEORI
1.      Pengertian Nelayan
Nelayan adalah suatu kelompok masyarakat yang kehidupannya tergantung langsung pada hasil laut, baik dengan cara melakukan penangkapan ataupun budi daya. Mereka pada umumnya tinggal di pinggir pantai, sebuah lingkungan pemukiman yang dekat dengan lokasi kegiatannya (Imron, 2003). Kebijakan sosial ekonomi (pendidikan, kesehatan, ekonomi, infrastruktur, kelembagaan) dalam pengembangan masyarakat pesisir yang “tertinggal” tersebut perlu ditinjau kembali (revisited) dan direkayasa ulang (re-engineering) mengingat perbaikan kehidupannya sangat lambat khususnya nelayan yang sebagian besar masuk kategori miskin dari kelompok yang paling miskin (poor of the poorest) (Kusumastanto, 2010).
2.      Penggolongan Nelayan
      Nelayan bukanlah suatu identitas tunggal, mereka terdiri dari beberapa dari beberapa kelompok. Dilihat dari segi pemilikan alat tangkap, nelayan dapat dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu:
a.    Nelayan buruh, adalah nelayan yang bekerja dengan alat tangkap milik orang lain.
b.    Nelayan juragan, adalah nelayan yang memilik alat tangkap yang dioperasikan oleh orang lain.
c.    Nelayan perorangan, adalah nelayan yang memiliki peralatn tangkap sendiri, dan dalam pengoperasiannya tidak melibatkan orang lain.
Nelayan buruh atau diatas kapal lebih dikenal sebagai Anak Buah Kapal (ABK) merupakan nelayan yang penghasilannya jauh lebih rendah dibandingkan nelayan juragan ataupun nelayan perorangan.

3.      Karakteristik Nelayan
  Ada beberapa karakteristik masyarakat pesisir,(1) budaya terbuka, (2) sumber kehidupannya tergantung pada sumberdaya alam, (3) aktivitas ekonominya sangat dipengaruhi oleh cuaca dan musim, (4) peran pasar sangat menentukan dalam berkembangnya aktivitas masyarakat. Sebagai ilustrasi : masyarakat pesisir yang sebagia

n besar berprofesi sebagai nelayan, sangat tergantung dari kondisi lingkungan laut yang sangat rentan dari kerusakan, seperti penghancuran terumbu karang coral reef, mangrove, serta padang lamun (seagrasspencemaran, maupun bencana laut.



III. ASPEK – ASPEK YANG PERLU DIPERHATIKAN DALAM PEMBINAAN NELAYAN

1. Pembinaan nelayan memerlukan pemahaman yang bersifat menyeluruh terhadap setiap persoalan, terutama kemiskinan nelayan yang terjadi.

Alasan utama kemiskinan dapat dibagi ke dalam empat hal, yaitu (1) kemiskinan karena aspek teknis biologis sumberdaya pesisir dan laut, (2) kemiskinan karena kekurangan prasarana, (3) kemiskinan karena kualitas sumber daya manusia yang rendah, dan (4) kemiskinan karena struktur ekonomi yang tidak mendukung dalam memberikan insentif usaha. Melihat faktor – faktor ini maka Kebijakan sosial ekonomi pembinaan dan pemberdayaan masyarakat pesisir (nelayan) harus didasarkan kepada kondisi sosial, kearifan dan budaya masyarakat pesisir yang tumbuh dan berkembang di akar rumput. Kebijakan yang diambil harus integratif sehingga tidak bias sektoral, wilayah serta kepentingan dan dapat diimplementasikan dalam rangka pengentasan kemiskinan.



2. Pembinaan nelayan memerlukan pendekatan sosial engineering yang tepat, efektif dan efisien

Mengingat bahwa nelayan merupakan masyarakat yang unik yang cenderung bersifat subsisten, maka pembinaannya perlu dibangun dan dipersiapkan secara khusus melalui re-engineering, kebijakan pengembangan sosial ekonomi dalam rangka pengentasan kemiskinan masyarakat pesisir. Terdapat 3 (tiga) kebijakan utama yang perlu dilakukan, yaitu (i) perlunya penetapan jumlah pemanfaat (users) dan daya dukung lingkungannya sesuai dengan karakteristik sumberdaya dan pemanfaatannya; (ii) perlu dilakukannya pembinaan dan pembinaan masyarakat pesisir secara kontinu; dan (iii) perlu dikembangkannya mata pencaharian alternatif bagi masyarakat pesisir sebagai social engineering modeldalam pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan di wilayah pesisir dan laut.

3.      Penetapan jumlah pemanfaat (users) dan daya dukung lingkungannya sesuai dengan karakteristik sumberdaya dan pemanfaatannya
   Dalam konteks pemanfaatan sumberdaya pesisir, terdapat tiga kategori sumberdaya yang dapat dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat pesisir, yaitu (a) sumberdaya dapat pulih (renewable resources), (b) sumberdaya tidak dapat pulih (non-renewable resources), dan (c) jasa-jasa lingkungan pesisir (environmental services). Sumberdaya dapat pulih terdiri dari berbagaijenis ikan, udang, rumput laut, termasuk kegiatan budidaya pantai dan budidaya laut (mariculture). Sumberdaya tidak dapat pulih meliputi mineral, bahan tambang/galian, minyak bumi dan gas, maupun jasa seperti pariwisata, transportasi laut, perdagangan dan sebagainya. Pemanfaatan sumberdaya pesisir khususnya sumberdaya perikanan, meskipun oleh banyak pihak masih dikatakan belum optimal (sekitar 60%) dan masih dapat ditingkatkan hingga hingga 40%, namun kenyataannya di berbagai wilayah perairan telah mengalami overeskploitasi dan berbagai permasalahan pengelolaan lingkungan lainnya. Pertanyaan selanjutnya adalah seberapa besar jumlah nelayan optimum yang dapat memanfaatkan sumberdaya perikanan di suatu kawasan perairan?. Hal ini penting, karena kita menginginkan masyarakat pesisir umumnya dan nelayan khususnya memiliki tingkat kesejahteraan tertentu, sehingga mampu memenuhi kebutuhan dasar untuk hidup.

4.    Penguatan dan pembinaan masyarakat pesisir
Penguatan dan pembinaan sumberdaya manusia pesisir juga menjadi faktor yang menentukan dalam upaya meningkatan kesejahteraan masyarakat pesisir. Kesadaran masyarakat terhadap pentingnya sumberdaya pesisir bagi mereka yang kemudian diaktualisasikan dalam upaya-upaya pemanfaatan sehari-hari singga sumberdaya tersebut tetap lestari. Dalam kerangka penguatan dan pembinaan faktor-faktor penentu dalam pembinaan masyarakat meliputi, Pembinaan Manusia, Pembinaan Lingkungan, Pembinaan Sumberdaya dan Pembinaan Usaha.

5.    Pengembangan mata pencaharian alternatif
Kendala keterbatasan sumberdaya pesisir khusususnya pada kawasan yang telah overeksploitasi menuntut perlunya terobosan-terobosan dalam mencari sumber-sumber mata pencaharian alternatif. Konsep pengembangan mata pencaharian alternatif ini, juga sedang dikembangkan bagi masyarakat pesisir yang selama ini mengembangkan praktek-praktek pemanfaatan sumberdaya perikanan yang tidak ramah lingkungan, seperti penggunaan bom dan zat kimia khususnya dalam perikanan terumbu karang. Salah satu mata pencaharian alternatif yang bisa diberikan adalah pembinaan dalam hal diversifikasi usaha melalui kegiatan pengolahan ikan.


6.    Dukungan kebijakan pengembangan perikanan tangkap
     Besarnya potensi sumberdaya ikan di Indonesia, seharusnya dapat meningkatkan perekonomian nasional. Namun demikian, yang terjadi adalah sebaliknya, negara dirugikan triliunan rupiah dan sumberdaya ikan mengalami penurunan yang disertai semakin miskinnya masyarakat nelayan. Beberapa kebijakan yang saat ini urgen untuk dilakukan guna menyelamatkan dan mengembangkan perikanan tangkap di Indonesia, adalah: (i) subsidi BBM untuk nelayan; (ii) regulasi terhadap permasalahan-permasalahan mendasar seperti Illegal, Unreported and UnregulatedFishing, serta persoalan yang menyangkut perijinan terhadap operasi penangkapan ikan; (iii) kebijakan yang terkait dengan dukungan (supporting) pendanaan dan investasi; (iv) advokasidan diplomasi perikanan; seperti Peningkatan partisipasi Indonesia dalam perikanan regional, utamanya sebagai anggota (contracting party) dari Indian Ocean Tuna Commission (IOTC) dan Commission for Conservation of Southern Bluefin Tuna (CCSBT).

IV.    KESIMPULAN
Masyarakat pesisir diharapkan memperoleh manfaat terbesar dalam pembangunan wilayah pesisir, dalam rangka mendukung pembangunan pesisir melalui pembinaan nelayan maka kebijakan sosial ekonomi diarahkan untuk kesejahteraan masyarakat nelayan sekaligus untuk menjaga kelestarian sumberdaya ikan sehingga kegiatan sosial ekonomi masyarakat pesisir dapat dipercepat serta dilakukan secara berkelanjutan. Berbagai program pembinaan nelayan yang dilakukan saat ini pada intinya harus menjawab dua hal mendasar, yaitu: (1) kebutuhan untuk menjaga dan mempertahankan kelestarian sumberdaya pesisir, (2) kebutuhan untuk mengelola pemanfaatan sumberdaya pesisir secara rasional, mencari resolusi atas konflik pemanfaatan, dan mencapai keseimbangan rasional antara pembangunan dan pelestarian sumberdaya dengan memperhatikan aspek - aspek penting dalam upaya pembinaan nelayan.

DAFTAR PUSTAKA
Adrianto, L. 2005.Implementasi Code of Conduct for Responsible Fisheries dalam  Perspektif Negara Berkembang. Lembaga Pengkajian Hukum Internasional, Jakarta, Jurnal Hukum Internasional, Vol 2, No. 3, April 2005, hlm 481.

Tridoyo Kusumastanto dan Yudi Wahyudin, M.Si. 2014. Pembinaan Nelayan Sebagai Ujung Tombak Pembangunan Nasional Perikanan. Manuskrip pada Majalah Ilmiah WAWASAN TRIDHARMA

 

Selasa, 12 April 2016

PENURUNAN MUTU IKAN DAN KONTAMINASI



Oleh : 
Budi Santoso, S.St.Pi



I.    PENDAHULUAN
1.   Latar Belakang
Ikan sebagai makan sehat dan juga makanan yang cepat rusak/membusuk merupakan dua sisi yang saling bertolak belakang namun memilki keterkaitan satu  sama lain, oleh karena itu dibutuhkan perhatian serius terhadap produk ini. Pentingnya mengetahui bagaimana proses penurunan mutu ikan terjadi dan sumber – sumber kontaminasi apa saja yang berpotensi terjadi serta bagaimana mencegah sumber kontaminasi tersebut agar tidak menjadi media tumbuhnya bakteri yang dapat merusak atau menurunkan mutu hasil perikanan.

2.      Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang akan dikaji dalam  makalah ini adalah bagaimana proses penurunan mutu ikan terjadi dan sumber kontaminasi apa saja yang berpotensi menurunkan mutu ikan tersebut ?

II.     KAJIAN TEORI
A.Pengertian Penurunan Mutu
Penurunan mutu ikan atau yang lebih dikenal dengan istilah Pembusukan ikan adalah perubahan dan penurunan kualitas ikan sehingga menjadi tidak baik untuk dimakan (Maulana, 2011)


I.    PENDAHULUAN
1.   Latar Belakang
Ikan sebagai makan sehat dan juga makanan yang cepat rusak/membusuk merupakan dua sisi yang saling bertolak belakang namun memilki keterkaitan satu  sama lain, oleh karena itu dibutuhkan perhatian serius terhadap produk ini. Pentingnya mengetahui bagaimana proses penurunan mutu ikan terjadi dan sumber – sumber kontaminasi apa saja yang berpotensi terjadi serta bagaimana mencegah sumber kontaminasi tersebut agar tidak menjadi media tumbuhnya bakteri yang dapat merusak atau menurunkan mutu hasil perikanan.

2.      Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang akan dikaji dalam  makalah ini adalah bagaimana proses penurunan mutu ikan terjadi dan sumber kontaminasi apa saja yang berpotensi menurunkan mutu ikan tersebut ?

II.     KAJIAN TEORI
A.Pengertian Penurunan Mutu
Penurunan mutu ikan atau yang lebih dikenal dengan istilah Pembusukan ikan adalah perubahan dan penurunan kualitas ikan sehingga menjadi tidak baik untuk dimakan (Maulana, 2011)

B.   Kontaminasi
Kontaminasi adalah benda asing berbahaya yang tidak seharusnya berada dalam produk yang dapat berpotensi merusak mutu produk.

I.       PENURUNAN MUTU IKAN DAN KONTAMINASI
      A.   Penurunan Mutu
Secara umum ikan diperdagangkan dalam keadaan sudah mati dan seringkali dalam keadaan masih hidup. Pada kondisi hidup tentu saja ikan dapat diperdagangkan dalam jangka waktu yang lama.  Sebaliknya dalam kondisi mati ikan akan segera mengalami kemunduran mutu. Segera setelah ikan mati, maka akan terjadi perubahan-perubahan yang mengarah kepada terjadinya pembusukan. Perubahan-perubahan tersebut terutama disebabkan adanya aktivitas enzim, kimiawi dan bakteri. Enzim yang terkandung dalam tubuh ikan akan merombak bagian-bagian tubuh ikan dan mengakibatkan perubahan rasa (flavor), bau (odor), rupa (appearance) dan tekstur (texture). Aktivitas kimiawi adalah terjadinya oksidasi lemak daging oleh oksigen. Oksigen yang terkandung dalam udara mengoksida lemak daging ikan dan menimbulkan bau tengik (rancid). Perubahan yang diakibatkan oleh bakteri dipicu oleh terjadinya kerusakan komponen-komponen dalam tubuh ikan oleh aktivitas enzim dan aktivitas kimia. Aktivitas kimia menghasilkan komponen yang yang lebih sederhana. Kondisi ini lebih disukai bakteri sehingga memicu pertumbuhan bakteri pada tubuh ikan. Dalam kenyataannya proses kemunduran mutu berlangsung sangat kompleks. Satu dengan lainnya saling kait mengait, dan bekerja secara simultan. Untuk mencegah terjadinya kerusakan secara cepat, maka harus selalu dihindarkan terjadinya ketiga aktivitas secara bersamaan.
  • Seluruh permukaan tubuh,
  • Isi perut,
  • Insang.

Perubahan – Perubahan Yang Terjadi Setelah Ikan Mati
a.    Hyperaemia
Hyperaemia merupakan proses terlepasnya lendir dari kelenjar-kelenjar yang ada di dalam kulit. Proses selanjutnya membentuk lapisan bening yang tebal di sekeliling tubuh ikan. Pelepasan lendir dari kelenjar lendir, akibat dari reaksi khas suatu organisme. Lendir tersebut terdiri dari gluko protein dan merupakan substrat yang baik bagi pertumbuhan bakteri.
b.    Rigormortis
Seperti terjadi pada daging sapi dan daging hewan lainnya, fase ini ditandai oleh mengejangnya tubuh ikan setelah mati. Kekejangan ini disebabkan alat-alat yang terdapat dalam tubuh ikan yang berkontraksi akibat adanya reaksi kimia yang dipengaruhi atau dikendalikan oleh enzim. Dalam keadaan seperti ini, ikan masih dikatakan sebagai segar.
c.    Autolysis
Fase ini terjadi setelah terjadinya fase rigor mortis. Pada fase ini ditandai ikan menjadi lemas kembali. Lembeknya daging Ikan disebabkan aktivitas enzim yang semakin meningkat sehingga terjadi pemecahan daging ikan yang selanjutnya menghasilkan substansi yang baik bagi pertumbuhan bakteri.
d.    Bacterial Decomposition (dekomposisi oleh bakteri)
Pada fase ini bakteri terdapat dalam jumlah yang banyak sekali, sebagai akibat fase sebelumnya. Aksi bakteri ini mula-mula hampir bersamaan dengan autolysis, dan kemudian berjalan sejajar. Bakteri menyebabkan ikan lebih rusak lagi, bila dibandingkan dengan autolisis.

B.     Kontaminasi
           Sumber Kontaminasi
           Sumber – sumber kontaminasi adalah :
1.   Tempat
2.   Peralatan
3.   Air kotor
4.   Binatang
 5.    Es yang tercemar
 6.    Manusia
­      Jenis - Jenis Kontaminasi
          Jenis – jenis kontaminasi yang sering terjadi pada ikan adalah :
1.    Aspek Biologi : Bakteri (Staphylococcus aureus (atau Staph), Listeria
monocytogenes, Salmonella, cacing
2.    Aspek Kimia : Minyak, pelumas, solar,  bahan kimia lainnya yang ada di atas kapal perikanan.
3.    Aspek Fisika : seperti plastik, kertas, daun, dsbnya.
   Apa saja yang perlu dilakukan untuk mencegah kontaminasi :
1.    Menjaga kebersihan permukaan yang kontak dengan ikan
2.    Menjaga kebersihan diri
3.    Pengendalian binatang



II.      KESIMPULAN
1.    Penurunan mutu ikan atau yang lebih dikenal dengan istilah Pembusukan ikan adalah          perubahan dan penurunan kualitas ikan sehingga menjadi tidak baik untuk dimakan, untuk mempertahankan mutu ikan  agar tidak cepat mengalami penurunan mutu maka kita perlu mengetahui tahapan – tahapan (proses) penurunan mutu ikan itu sendiri sejak ditangkap hingga proses distribusi sehingga diperoleh langkah – langkah untuk menanggulanginya.
2.    Kontaminasi adalah benda asing berbahaya yang tidak seharusnya berada dalam produk yang dapat berpotensi merusak mutu produk. Sumber kontaminansi atau selanjutnya disebut kontaminan dapat berasal dari peralatan, tempat maupun manusia baik berupa bakteri, solar, oli, plastik, maupun benda lainnya yang tidak diharapkan ada dalam produk perikanan kita.

DAFTAR PUSTAKA :
                                  pembusukan-ikan

2.      Maulana, 2011.  Proses Penurunan Mutu Ikan dan Kontaminasi. PPN Palabuhan
                          Ratu.