Sabtu, 21 Mei 2016

MENGHITUNG KEBUTUHAN ES DALAM PENGAWETAN IKAN

Oleh : Budi Santoso, S.St.Pi

           Pada dasarnya cara pengolahan/pengawetan ikan yang umum dilakukan dibagi menjadi empat golongan yakni 1) pengolahan dengan memanfaatkan faktor fisikawi, 2) pengolahan dengan bahan pengawet, 3) pengolahan yang memanfaatkan faktor fisikawi dan bahan pengawet, dan 4) pengolahan dengan cara fermentasi.
Pengolahan/pengawetan ikan dengan faktor fisikawi merupakan pengolahan yang salah satu caranya adalah dengan memanfaatkan suhu rendah. Pengolahan dengan suhu rendah lebih ditekankan pada tujuan untuk menjaga sifat kesegaran pada ikan. Pengawetan ikan dengan suhu rendah merupakan suatu proses pengambilan/pemindahan panas dari tubuh ikan ke bahan lain. Ada pula yang mengatakan, pendinginan adalah proses pengambilan panas dari suatu ruangan yang terbatas untuk menurunkan dan mempertahankan suhu di ruangan tersebut bersama isinya agar selalu lebih rendah daripada suhu di luar ruangan.
Kelebihan pengawetan ikan dengan pendinginan adalah sifat-sifat asli ikan tidak mengalami perubahan tekstur, rasa, dan bau. Efisiensi pengawetan dengan pendinginan sangat tergantung pada tingkat kesegaran ikan sebelum didinginkan. Apabila proses pendinginan dilakukan sebelum fase rigor mortis berlalu dan disertai dengan teknik yang benar, maka proses pendinginan akan berjalan efektif. Sedangkan bila pendinginan dilakukan setelah proses autolisis berlangsung, maka proses pendinginan akan berjalan sia-sia.
Pendinginan dapat dilakukan dengan teknik seperti dibawah ini atau dengan pengombinasian:
1.    Pendinginan dengan es,
2.    Pendinginan dengan es kering, dan
3.    Pendinginan dengan udara kering.
Proses pendinginan ikan hingga 0oC dapat memperpanjang kesegaran ikan antara 12-18 hari sejak saat ikan ditangkap. Namun demikian, hal ini juga sangat tergantung pada jenis ikan, cara penanganan, serta teknik pendinginan yang digunakan. Dan cara yang paling mudah untuk mendinginkan ikan adalah dengan menggunakan es.
Es mendinginkan dengan cepat tanpa banyak memengaruhi keadaan ikan. Berdasarkan bentuknya, es dibagi ke dalam lima jenis diantaranya: 1) es balok (block ice), 2) es tabung (tube ice), 3) es keping tebal (plate ice), 4) es keping tipis (flake ice), dan 5) es halus (slush ice).
1.   Es Balok (block ice), yaitu balok es dengan ukuran 12 – 60 kg/balok. Sebelum digunakan es balok harus dihancurkan/dipecahkan terlebih dahulu untuk memperkecil ukuran.
2.     Es Tabung (tube ice), yaitu es berbentuk tabung kecil yang siap untuk dipakai
3.     Es Keping Tebal (plate ice), yaitu es dalam bentuk lempengan yang besar dan tebal 8 – 15 mm, kemudian dipecahkan menjadi potongan-potongan kecil dengan diameter kurang dari 5 cm, agar lebih cepat kontak dengan permukaan ikan.
4.  Es Keping Tipis (flake ice), yaitu lempengan-lempengan es yang tipis dengan ukuran setebal 5 mm, diameter 3 cm, merupakan hasil pengerukan dari lapisan es yang terbentuk diatas permukaan pembeku berbentuk silinder. Akibat pengerukan itu, es sudah cukup kecil sehingga tidak memerlukan pemecahan lagi.
5.    Es Halus (slush ice), yaitu butiran-butiran es yang sangat halus dengan diameter 2 mm dan tekstur lembek, umumnya sedikit berair. Mesin yang digunakan berukuran kecil dan produksinya sedikit, hanya untuk ikan di sekitar pabrik.
Pada dasarnya, es yang paling umum digunakan dalam proses pendinginan ikan adalah es balok. Salah satu alasannya adalah karena harganya yang murah dan mudah dalam pengangkutannya. Namun demikian, ada beberapa faktor lain yang perlu diperhatikan/dipertimbangkan dalam pemilihan es untuk pendinginan ikan diantaranya:
a.    Jenis, mutu, harga es yang tersedia di pasar,
b.    Kecukupan jumlah dan ketersediaan es,
c.    Sarana pemecah es yang diperlukan,
d.    Sarana pengangkutan dan penyimpanan es yang diperlukan,
e.    Biaya investasi dan operasi mesin es, serta
 f.     Kemudahan pemakaian es.
Setelah mengetahui jenis, kualitas, dan faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dalam pemilihan es untuk pendinginan ikan, selanjutnya adalah penentuan jumlah kebutuhan es dalam proses pendinginan ikan. 
Es mempunyai daya pendinginan yang sangat besar. Tiap satu kilogram es yang meleleh pada 0oC dapat menyerap panas sebanyak 80 kkal untuk meleleh menjadi air 0oC dan es mempunyai titik cair pada 0oC.
Proses pendinginan terjadi apabila es bersinggungan dengan ikan (20oC) memindahkan panas kepada es, dan es (0oC) menerima atau menyerap panas tersebut untuk digunakan dalam pencairannya. Proses pemindahan panas akan terhenti apabila ikan telah mencapai suhu es yaitu 0oC, jika es telah habis dan air lelehan es itu telah sama suhunya dengan ikan. Jika es yang diberikan untuk mendinginkan cukup banyak, maka sisa es yang belum meleleh dapat membantu memelihara suhu campuran es dan ikan pada 0oC.
Hukum kekekalan energi berlaku dalam menghitung jumlah es yang dibutuhkan untuk mendinginkan ikan. Apabila tidak ada faktor-faktor lain yang memengaruhi maka panas yang perlu diambil dari ikan setara dengan panas yang diserap oleh es untuk meleleh. Jumlah panas yang terlibat di dalam proses pemanasan atau pendinginan dihitung dengan rumus sebagai berikut :
Q = B x PJ x Dt        untuk proses yang melibatkan perubahan suhu.
Atau
Q = B x L                  untuk proses pada suhu tetap (pelelehan dan pembekuan).
Keterangan :
Q    = jumlah panas yang ditambahkan atau diambil (kkal)
B    = berat benda yang dipanaskan atau didinginkan (kg)
PJ  = panas jenis (kkal/kg/oC)
·         PJ ikan berkisar 0,6 – 0,8 kkal/kg/oC sesuai dengan kandungan airnya.
·         Jika kandungan air tidak diketahui, sebaiknya diambil nilai tertinggi 0,8.
Dt   = selisih antara suhu awal dengan suhu akhir (oC)
L    = panas laten, yang diperlukan untuk membekukan atau melelehkan (kakl/kg).
Contoh:
Jika ikan seberat 1 ton dengan suhu awal 22oC akan didinginkan menjadi 0oC, diketahui panas jenis ikan 0,8. Berapa jumlah es yang diperlukan?
Jawab:
1.    Panas yang dikeluarkan dari ikan untuk mendinginkan dari 22oC menjadi 0oC.
Q = 1.000 x 0,8 x (22 – 0) = 17.600 kkal
2.    Berat es yang diperlukan
Q           = B x L
17.600  = B x 80
B            = 17.600 : 80 = 220 kg
Selain jumlah es yang diperlukan untuk mendinginkan ikan, juga dibutuhkan es tambahan untuk membuang panas lain yang terlibat dalam proses pendinginan ikan, yaitu:
  • Panas dari udara sekeliling, besarnya bervariasi menurut keadaan cuaca; 
  • Panas dari sinar matahari, cahaya lampu, maupun sumber panas lain disekitar ikan;
  • Panas dari wadah yang digunakan;
  • Panas yang timbul akibat tekanan ikan atau benda-benda diatasnya;
  • Panas yang timbul akibat guncangan kendaraan atau guncangan kapal

Kamis, 19 Mei 2016

Kerusakan Terumbu Karang Akibat Penangkapan Ikan dengan Cara Merusak (Destructive Fishing)

Oleh : Budi Santoso, S.St.Pi

Indonesia merupakan negara kepulauan terbesar di dunia dengan panjang garis pantai lebih dari 95.000 km dan memiliki lebih dari 17.000 pulau yang dikelilingi oleh terumbu karang. Diperkirakan sekitar 51% terumbu karang di Asia Tenggara dan 18% dari terumbu karang di dunia berada di Indonesia. Sebagian besar dari terumbu karang ini bertipe terumbu karang tepi (fringing reef), berdekatan dengan garis pantai dan mudah dijangkau oleh masyarakat sekitar. Indonesia juga memiliki keanekaragaman hayati kelautan tertinggi di dunia.
Ketergantungan yang tinggi negara-negara Asia Tenggara khususnya Indonesia terhadap sumber daya laut menyebabkan nelayan ingin menagkap ikan dalam jumlah banyak melalui cara yang mudah yaitu dengan cara merusak (destructive fishing). Beberapa praktek penangkapan ikan dengan cara merusak antara lain penggunaan pukat harimau (trawl), penggunaan bom (dynamite fishing), dan penggunaan racun potas (cyanide fishing). Penggunaan dynamite dan cyanide fishing selain dapat menghabiskan populasi ikan, juga mengakibatkan kerusakan ekosistem di sekitarnya (terumbu karang) dan membahayakan keselamatan nelayan. Aktivitas destructive fishing ini mengancam 88% terumbu karang Asia Tenggara.
Salah satu contoh kasusnya yaitu di Kepulauan Seribu. Kepulauan Seribu yang terletak di sebelah utara Teluk Jakarta dan Laut Jawa Jakarta memiliki 110 buah pulau. Kepulauan Seribu terkenal dengan keindahan terumbu karang dan ikan-ikannya. Hal ini tentu saja menarik perhatian komunitas sekitar untuk menangkap ikan-ikan cantik itu dan menjualnya di Jakarta. Pencari ikan hias menyelam di sekitar terumbu-terumbu karang untuk mencari ikan hias (biasanya jenis anemone). Untuk menangkap anemone, mereka menyemprotkan potas yang disimpan dalam botol aqua ke anemone yang  berada di terumbu karang.
Bagaimanakah pengaruh potas dalam kerusakan terumbu karang? Dalam air laut, potas akan terurai menjadi sodium dan ion potassium. Pada manusia, potas dapat menghentikan transportasi haemoglobin, begitu pula pada ikan. Bila air  di sekitar ikan tecemar oleh potas, maka suplai oksigen pada ikan semakin berkurang dan menyebabkan ikan tersebut pingsan.  Sehingga tidak berapa lama mereka kembali menyelam, dan tinggal memunguti ikan ikan hias yang pingsan. Penyemprotan potas berulang kali pada terumbu karang juga mengakibatkan terjadinya pemutihan dan kematian terumbu karang. Setiap penyemprotan potas akan menjangkau area terumbu karang seluas 4 x 4 meter. Lama-kelamaan terumbu karang akan mati. Tak ada ikan lagi, karena ikan ikan membutuhkan terumbu karang sebagai rumah dan habitatnya.
Kasus lainnya berada di Teluk Kiluan, Lampung yang terletak di titik pertemuan antara arus Samudra Hindia dengan perairan Selat Sunda. Pada bulan Februari-April 2009, marak terjadi penangkapan lobster menggunakan bom ikan dan potas di Teluk Kiluan. Kapal pengebom ikan beroperasi dengan cara berhenti di depan perairan Teluk Kiluan. Dari kapal besar, nakhoda kapal akan menurunkan perahu jukung yang berisi pendayung, pencari ikan, dan pengebom ikan. Ketika sumber ikan sudah ditemukan, pengebom akan turun menyelam dan mengebom terumbu karang sehingga ikan dan terumbu karang mati. Ikan yang biasanya dicari adalah ikan kerapu dan simba. Potas digunakan untuk menangkap lobster. Potas disemprotkan ke lubang-lubang pada terumbu karang tempat lobster tinggal. Akibat kegiatan menggunakan bom ikan, wilayah terumbu karang di perairan Teluk Kiluan rusak. Wilayah terumbu karang di perairan Teluk Kiluan diperkirakan seluas lima hektar. Sekitar separuhnya kini rusak akibat kegiatan pengeboman ikan.
Di Sulawesi Selatan, kerusakan terumbu karang akibat bom ikan juga terjadi. Saat ini, sekitar 55% terumbu karang di Sulawesi Selatan telah rusak akibat bom ikan. Cara penangkapan ikan seperti ini telah merusak ekosistem yang ada di bawah permukaan laut, termasuk terumbu karang Taman Nasional Takabonerate, Kabupaten Kepulauan Selayar, Sulawesi Selatan. Taman laut Takabonerate merupakan taman laut ketiga terindah di dunia yang memperoleh piagam penghargaan dunia pada pertemuan Internasional Kelautan (World Ocean Conference) di Manado, Sulut, 11 – 15 Mei 2009. Tidak hanya terumbu karangnya yang rusak, melainkan jutaan spesies biota laut yang unik bisa terancam akibat pemboman ikan ilegal itu.
Bom ikan biasanya terbuat dari potassium nitrate, batu kerikil, dan minyak tanah yang dimasukkan dalam botol-botol mulai botol minuman suplemen, botol bir, dan botol minuman keras. Berat setiap botol kurang lebih setengah hingga dua kilogram. Setiap botol bom ini memiliki spesifikasi berbeda-beda. Botol bom yang terbuat dari minuman suplemen umumnya digunakan mengebom ikan dalam jumlah yang kecil mulai 1–5 kuintal ikan. Sedangkan botol bom yang terbuat dari botol bir dipakai untuk mengebom ikan dalam jumlah yang besar hingga berton-ton. Satu bom seukuran botol minuman suplemen mampu mematikan ikan hingga radius 15 meter dari titik pengeboman sedangkan yang seukuran botol bir radiusnya 50 meter dari titik pengeboman.
Dengan banyaknya penangkapan ikan dengan cara merusak, terumbu karang yang kondisinya menurun akan kehilangan nilai karena menjadi kurang produktif. Suatu terumbu karang yang sehat dapat menghasilkan hasil perikanan rata-rata 20 ton per tahun. Hasil suatu terumbu karang yang rusak akibat destructive fishing hanya 5 ton per tahun. Meskipun hanya sebagian yang rusak, terumbu karang tidak dapat pulih ke tingkat produktivitas tinggi. Terumbu karang yang telah dibom hanya memberikan keuntungan kecil sementara bagi pengebom ikan, namun memberikan kerugian besar yang berjangka panjang bagi masyarakat Indonesia.
Terumbu karang Indonesia adalah suatu dasar bagi struktur ekonomi dan sosial di kawasan ini, namun keadaannya dalam kondisi sangat terancam.  Untuk mengelola terumbu karang dibutuhkan implementasi rencana pengelolaan yang menggabungkan koleksi data dasar status terumbu karang, hasil pemantauan yang terus menerus, strategi implementasi, dan pengelolaan yang adaptif. Karena setiap lokasi berbeda, maka strategi yang berskala luas mungkin saja dibutuhkan untuk mengelola sumberdaya secara lebih baik. Pengelolaan yang efektif akan membutuhkan sumber daya manusia yang berkualitas serta dukungan pendanaan. Karena banyak tekanan pada terumbu karang yang berakar dari masalah sosial dan ekonomi, pengelolaan juga harus melihat aspek lain. Upaya yang perlu ditekankan adalah pengentasan kemiskinan, mata pencaharian alternatif, perbaikan pemerintahan, dan peningkatan kepedulian masyarakat akan nilai terumbu karang dan perikanan serta ancaman yang dihadapi keduanya. Bila diinformasikan dengan baik dan didanai secara tepat, pemerintah setempat, LSM, tetua desa, dan segmen-segmen kunci industri wisata, dapat menjadi pemelihara sumberdaya pesisir yang sukses.


Sumber :  https://ayunaris.wordpress.com/2009/09/03/kerusakan-terumbu-karang-akibat-
                penangkapan-ikan-dengan-cara-merusak-destructive-fishing/

Rabu, 04 Mei 2016

MENGENAL ALAT TANGKAP TRAWL UNTUK MENINGKATKAN KESADARAN AKAN BAHAYA PENGGUNAANNYA BAGI EKOSISTEM SUMBERDAYA IKAN


Oleh :
Budi Santoso, S.St.Pi


I.    PENDAHULUAN
1.      Latar Belakang
Jaring trawl yang selanjutnya disingkat dengan “trawl” telah mengalami perkembangan pesat di Indonesia sejak awal pelita I. Trawl sebenarnya sudah lama dikenal di Indonesia sejak sebelum Perang Dunia II walaupun masih dalam bentuk (tingkat) percobaan. Percobaan-percobaan tersebut sempat terhenti akibat pecah Perang Dunia II dan baru dilanjutkan sesudah tahun 50-an (periode setelah proklamasi kemerdekaan). Penggunaan jaring trawl dalam tingkat percobaan ini semula dipelopori oleh Yayasan Perikanan Laut, suatu unit pelaksana kerja dibawah naungan Jawatan Perikanan Pusat waktu itu. Percobaan ini semula dilakukan oleh YPL Makassar (1952) kemudian dilanjutkan oleh YPL Surabaya.
Isu penggunaan alat tangkap trawl telah lama dikumandangkan dan tantangan terbesar saat ini adalah menghentikan laju kerusakan ekosistem dan degradasi sumber daya perikanan yang sudah mencapai status tangkap lebih yang antara lain diakibatkan oleh produktivitas penggunaan trawl.
  
2.      Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam judul makalah ini adalah  apa yang dimaksud dengan alat tangkap trawl, bagaimana bentuk kontruksi dan pegoperasiannya dan sejauh mana dampak yang ditimbulkan bagi ekosistem perairan dalam pengoperasiannya ?

II.      KAJIAN TEORI
Kata “ trawl “ berasal dari bahasa prancis “ troler “ dari kata “ trailing “ adalah dalam bahasa inggris, mempunyai arti yang bersamaan, dapat diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dengan kata “tarik “ ataupun “mengelilingi seraya menarik “. Ada yang menterjemahkan “trawl” dengan “jaring tarik” , tapi karena hampir semua jarring dalam operasinya mengalami perlakuan tarik ataupun ditarik , maka selama belum ada ketentuan resmi mengenai peristilahan dari yang berwenang maka digunakan kata” trawl” saja.
Dari kata “ trawl” lahir kata “trawling” yang berarti kerja melakukan operasi penangkapan ikan dengan trawl, dan kata “trawler” yang berarti kapal yang melakukan trawling. Jadi yang dimaksud dengan jarring trawl ( trawl net ) disini adalah suatu jaring kantong yang ditarik di belakang kapal ( baca : kapal dalam keadaan berjalan ) menelusuri permukaan dasar perairan untuk menangkap ikan, udang dan jenis demersal lainnya. Jarring ini juga ada yang menyangkut sebagai “jaring tarik dasar”.
Stern trawl adalah otter trawl yang cara operasionalnya (penurunan dan pengangkatan ) jaring dilakukan dari bagian belakang ( buritan ) kapal atau kurang lebih demikian. Penangkapan dengan system stern trawl dapat menggunakan baik satu jarring atau lebih.

III.        KONTSRUKSI UMUM
 
Dari segi bentuk (konstruksi) trawl/cantrang ini terdiri dari bagian-bagian :
1)      Kantong (Cod End)
Kantong merupakan bagaian dari jarring yang merupakan tempat terkumpulnya hasil tangkapan. Pada ujung kantong diikat dengan tali untuk menjaga agar hasil tangkapan tidak mudah lolos (terlepas).
2)      Badan (Body)
Merupakan bagian terbesar dari jaring, terletak antara sayap dan kantong. Bagian ini berfungsi untuk menghubungkan bagian sayap dan kantong untuk menampung jenis ikan-ikan dasar dan udang sebelum masuk ke dalam kantong. Badan tediri atas bagian-bagian kecil yang ukuran mata jaringnya berbeda-beda.  
3)      Sayap (Wing).
Sayap atau kaki adalah bagian jaring yang merupakan sambungan atau perpanjangan badan sampai tali salambar. Fungsi sayap adalah untuk menghadang dan mengarahkan ikan supaya masuk ke dalam kantong.
4)      Mulut (Mouth)
Alat cantrang memiliki bibir atas dan bibir bawah yang berkedudukan sama. Pada mulut jaring terdapat:
a.  Pelampung (float): tujuan umum penggunan pelampung adalah untuk memberikan daya apug pada alat tangkap cantrang yang dipasang pada bagian tali ris atas (bibir atas jaring) sehingga mulut jaring dapat terbuka.
b. Pemberat (Sinker): dipasang pada tali ris bagian bawah dengan tujuan agar bagian-bagian yang dipasangi pemberat ini cepat tenggelam dan tetap berada pada posisinya (dasar perairan) walaupun mendapat pengaruh dari arus.
c. Tali Ris Atas (Head Rope) : berfungsi sebagai tempat mengikatkan bagian sayap jaring, badan jaring (bagian bibir atas) dan pelampung.
d. Tali Ris Bawah (Ground Rope) : berfungsi sebagai tempat mengikatkan bagian  sayap jaring, bagian badan jaring (bagian bibir bawah) jaring dan pemberat.
5)     Tali Penarik (Warp)
Berfungsi untuk menarik jarring selama di operasikan.

IV.    JENIS-JENIS TRAWL
Alat tangkap trawl terbagi atas beberapa jenis diantaranya sebagai berikut :
1.    Berdasarkan jumlah kapal
      1). dengan sebuah kapal
Pada jenis ini, alat tangkap trawl dioperasikan dengan sebuah kapal yang menarik jaring trawl tanpa menggunakan kapal tambahan.
   2). Pada jenis ini alat tangkap trawl dioperasikan oleh dua buah kapal yang berjalan beriringan dengan menarik jaring di dasar perairan. Biasanya kapasitas jaring yang ditarik oleh dua kapal ini memiliki kapasitas yang sangat besar sehingga memerlukan 2 buah kapal penariknya.
 2.  Berdasarkan letak jaring didalam air
Ayodhyua pada tahun 1981 membedakan jenis-jenis Trawl berdasarkan letak jaring  dalam air menjadi 3 (tiga) jenis, yaitu :
       1). Surface Trawl (Jaring yang dioperasikan dipermukaan air)
Jaring ditarik dekat permukaan air (Surface Water) yang bertujuan untuk menarik ikan dipermukaan air. Ada beberapa kendala dalam pengoperasiannya, kecepatan menarik jaring harus lebih cepat dari kecepatan ikan berenang, oleh karena itu jenis Trawl ini sebaiknya digunakan untuk menangkap jenis ikan yang lambat berenangnya.
     2). Mid Water Trawl (jaring yang dioperasikan diantara permukaan dan dasar perairan) Jaring ditarik pada kedalaman tertentu dengan kecepatan tertentu secara horizontal. Untuk menjaga mulut jaring tetap terbuka, maka kecepatan kapal harus stabil. Di Eropa dan Kanada alat ini digunakan untuk menangkap ikan Herring sedangkan di Jepang masih dalarn taraf penetitian dan percobaan. di dasar perairan) Jaring ini banyak digunakan karena dapat menjaring semua jenis ikan, udang dan kerang. Pada kenyataannya sering tertangkap ikan Demersal waktu jaring di angkat ke atas. Karena jaring dioperasikan di dasar taut, maka pertu diperhatikan beberapa persyaratan agar penangkapan berjalan baik tanpa merusak jaring , diantaranya :
         -   Dasar laut terdiri dari Lumpur dan pasir atau campuran keduanya, bukan berupa     karang
         -   Dasar laut bebas dari bangkai kapal atau benda lain yang dapat merusak jaring.
             Perbedaan dasar laut tidak terlalu menyolok.
         -   Kecepatan arus pasang tidak terlalu besar
         -   Keadaan cuaca tenang (tidak ada angin topan dan gelombang besar)
         -   Perairan mempunyai sumber ikan yang banyak
3.   Berdasarkan Hasil tangkap
Pada pegelompokan berdasarkan hasil tangkapan ini dikelompokkan menjadi 3 macam yaitu :
       1).  Trawl khusus ikan, yaitu trawl yang dioperasikan khusus menangkap ikan-ikan jenis tertentu saja dan ini biasanya sangat merugikan dan merusak lingkungan Dan juga ikan yang lain yang tidak diambil biasnya di jadikan sebagai penghasilan sampingan bahkan di kapal kapal trawl tertentu ikan yang bukan merupakan komoditas yang dicari akan dibuang.
       2).  Trawl udang, trawl udang adalah  trawl yang  diperuntukan untuk menangkap udang saja dan ikan yang didapat menjadi sampingan bahkan ada pula yang dibuang.
      3).  Trawl Campuran, Pada trawl jenis ini ikan dan udang yang didapat sama sama akan diambil dan dikemas serta di tanganai secara baik. Pada jenis ini penangkapan ikan tidak hanya menunggu satu komuditas saja tetapi juga melihat ikan yang memiliki harga jual tinggi, baik itu udang atau ikan.

V. TEKNIK OPERASIONAL TRAWL ( SETTING DAN HAULING)
1. Kecepatan/lama waktu menarik jaring
Waktu menarik jaring ideal ideal jika jaring dapat ditarik dengan kecepatan yang besar, tapi hal ini sukar untuk mencapainya, karena kita dihadapkan pada beberapa hal, antara lain keadaan terbukanya mulut jaring, apakah jaring berada di air sesuai dengan yang dimaksudkan (bentuk terbukanya), kekuatan kapal untuk menarik (HP), ketahanan air terhadap tahanan air, resistance yang makin membesar sehubungan dengan catch yang makin bertambah, dan lain sebagainya. Faktor-faktor ini berhubungan antara satu dengan yang lainnya dan masing-masing menghendaki syarat tersendiri.
Pada umumnya jaring ditarik dengan kecepatan 3-4 knot. Kecepatan inipun berhubungan pula dengan swemming speed dari ikan, keadaa dasar laut, arus, angin, gelombang dan lain sebagainya, yang setelah mempertimbangkan factor-faktor ini, kecepatan tarik ditentukan .
Lama waktu penarikan di dasarkan kepada pengalaman-pengalaman dan factor yang perlu diperhatikan adalah banyak sedikitnya ikan yang diduga akan tertangkap., pekerjaan di dek, jam kerja crew, dan lain sebagainya. Pada umumnya berkisar sekitar 3-4 jam, dan kadang kala hanya memerlukan waktu 1-2 jam.
     2. Panjang Warp
faktor yang perlu diperhatikan adalah depth,sifat dasar perairan (pasir, Lumpur), kecepatan tarik. Biasanya panjang warp sekitar 3-4 kali depth. Pada fishing ground yang depthnya sekitar 9M (depth minimum). Panjang warp sekitar 6-7 kali depth. Jika dasar laut adalah Lumpur, dikuatirkan jaring akan mengeruk lumpu, maka ada baiknya jika warp diperpendek, sebaliknya bagi dasar laut yang terdiri dari pasir keras (kerikil ), adalah baik jika warp diperpanjang.
Pengalaman menunjukkan bahwa pada depth yang sama dari sesuatu Fishing ground adalah lebih baik jika kita menggunakan warp yang agak panjang, daripada menggunakan warp yang terlalu pendek. Hal ini dapat dipikirkan sebagai berikut.bentuk warp pada saat penarikan tidaklah akan lurus, tetapi merupakan suatu garis caternian. Pada setiap titik –titik pada warp akan bekerja gaya- gaya berat pada warp itu sendiri, gaya resistance dari air, gaya tarik dari kapal/ winch, gaya ke samping dari otter boat dan gaya-gaya lainnya. Resultan dari seluruh gaya yang complicataed ini ditularkan ke jaring (head rope and ground rope), dan dari sini gaya-gaya ini mengenai seluruh tubuh jaring. Pada head rope bekerja gaya resistance dari bottom yang berubah-ubah, gaya berat dari catch yang berubah-ubah semakin membesar, dan gaya lain sebagainya.
Gaya tarik kapal bergerak pada warp, beban kerja yang diterima kapal kadangkala menyebabkan gerak kapal yang tidak stabil, demikian pula kapal sendiri terkena oleh gaya-gaya luar (arus, angin, gelombang)
Kita mengharapkan agar mulut jaring terbuka maksimal, bergerak horizontal pada dasar ataupun pada suatu depth tertentu. Gaya tarik yang berubah-ubah, resistance yang berubah-ubah dan lain sebagainya, menyebabkan jaring naik turun ataupun bergerak ke kanan dan kekiri. Rentan yang diakibatkannya haruslah selalu berimbang. Warp terlalu pendek, pada kecepatan lebih besar dari batas tertentu akan menyebabkan jaring bergerak naik ke atas (tidak mencapai dasar), warp terlalu panjang dengan kecepatan dibawah batas tertentu akan menyebabkan jaring mengeruk lumpur. Daya tarik kapal (HP dari winch) diketahui terbatas, oleh sebab itulah diperoleh suatu range dari nilai beban yang optimal. Apa yang terjadi pada saat operasi penarikan, pada hakikatnya adalah merupakan sesuatu keseimbangan dari gaya-gaya yang complicated jika dihitung satu demi satu.

VI.      HASIL TANGKAPAN
Yang menjadi tujuan penangkapan pada bottom trawl adalah ikan-kan dasar (bottom fish) ataupun demersal fish. Termasuk juga jenis-jenis udang (shrimp trawl, double ring shrimp trawl) dan juga jenis-jenis kerang. Dikatakan untuk periran laut jawa, komposisi catch antara lain terdiri dari jenis ikan patek, kuniran, pe, manyung, utik, ngangas, bawal, tigawaja, gulamah, kerong-kerong, patik, sumbal, layur, remang, kembung, cumi,kepiting, rajungan, cucut dan lain sebagainya. Catch yang dominan untuk sesuatu fish ground akan mempengaruhi skala usaha, yang kelanjutannya akan juga menetukan besar kapal dan gear yang akan dioperasikan

VII.      KESIMPULAN
Penerbitan segala bentuk peraturan dalam rangka pelarangan pengoperasian alat tangkap trawl dimulai dengan Keputusan Presiden
(Keppres) RI Nomor 39/1980 hingga yang terbaru Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan No. 2/2015 semata mata dilaksanakan untuk menghentikan total penggunaan alat penangkapan ikan jenis trawl di perairan Indonesia yang dinilai merupakan langkah yang tepat, karena alat tangkap tersebut berkontribusi besar terhadap rusaknya habitat laut, pemborosan sumber daya laut, mempengaruhi siklus hidup biota laut, dan mengancam populasi biota kunci yang menjaga keseimbangan alam, seperti penyu dan hiu,”.  


DAFTAR PUSTAKA

  1. Mukhtar, A.Pi. 2012. Alat Tangkap Trawl. PSDKP. KKP

  1. WWF Indonesia. 2015. Alat Tangkap Trawl Ancam Keberlanjutan Sumberdaya Laut