Rabu, 20 Juli 2016

Mengenal Rumpon

Oleh : Budi Santoso, S.St.Pi

Hasil gambar untuk Mengenal rumpon ikan



Rumpon  merupakan salah perlengkapan dalam istilah perikanan tangkap khususnya penangkapan ikan yang dalam kurun waktu yang belum lama dan banyak digunakan oleh para nelayan baik skala kecil maupun besar. Pancing tegak dapat ditemui di wilayah perairan dalam.  Terutama di sekita rumpon  laut dalam.  Daerah penangkapannya terletak pada alur ruaya ikan-ikan pelagis besar. 

Pengenalan Rumpon
Didalam  Melakukan Metoda penangkapan yang mendasari teknologi penangkapan ikan, terdapat empat faktor utama yang harus anda pahami, yaitu:
1.  Ikan apa yang hendak ditangkap (Biologi Ikan), 
2.  dimana ikan akan ditangkap (fish ground),
3.  bagaimana sifatnya (fish behaviour)
4.  dan berapa jumlah yang akan/boleh ditangkap (stock assessments dan kelestarian). 

Dari keempat faktor di atas, fish ground merupakan faktor penentu dalam menentukan keberhasilan penangkapan ikan, tanpa mengetahui fish ground ikan yang menjadi tujuan daerah penangkapan adalah pekerjaan menangkap ikan yang sia-sia. 

Fishing  ground di alam merupakan suatu lingkungan kehidupan yang disukai ikan untuk berkumpul.  Berbagai faktor yang menyebabkan ikan mau berkumpul di lingkungan yang sesuai untuknya, yang dapat dipelajari pada mata kuliah biologi perikanan. 

Secara umum ikan akan berkumpul yaitu:
1.  Pada saat makan,
2.  saat hendak memijah,
3.  dan saat bermigrasi (tuna adalah ikan yang bersifat higly migratory).

Sebuah pertanyaan yang selalu menggelitik para nelayan adalah bagaimana menangkap ikan yang paling mudah.  Jawabannya sederhana mungkin “jawaban bodoh” adalah menangkap ikan yang sedang “ngumpul” dan syukur-syukur “diem”.   Pernyataan “ngumpul dan diem” inilah yang memacu para nelayan berupaya mengumpulkan ikan dengan berbagai cara.  Cara yang sudah lama kita kenal adalah dengan menggunakan rumpon (fish agregate device) dan menggunakan atraksi cahaya.  

Mencari fish ground alam bukan pekerjaan mudah. Contoh yang paling sederhana adalah pada penangkapan ikan kembung dengan menggunakan payang tradisional,  kumpulan ikan hanya dapat diketahui oleh para nelayan yang sudah berpengalaman, atau berdasarkan pengetahuan yang diturunkan dari orang-orang tua mereka, bahkan tidak jarang dibarengi dengan mistis.  Contoh pada perikanan modern, bagaimana hunting purse seiner “around the ocean, by day, by weeks, even by month” hanya untuk mencari dan mengejar kumpulan-kumpulan ikan tuna yang sedang bermigrasi.

Di Indonesia penelitian-penelitian tentang keempat hal tersebut di atas terutama mengenai ikan-ikan yang hidup di kawasan perairan Indonesia boleh dikatakan masih langka.  Banyak data yang masih tersimpan di benak-benak para nelayan, para fishing master dan nakhoda kapal penangkap ikan bahkan perusahaan perikanan.  Indonesia sudah mencoba suatu langkah yang didasarkan pada teknologi penginderaan jarak jauh (Indrajah, remote sensing) sehingga mampu memantau perubahan suhu dan kandungan klorofil di permukaan laut hampir diseluruh perairan Indonesia. 

Namun demikian perlu diingat bahwa, teknologi ini didasarkan pada pendeteksian perubahan suhu permukaan dan pergerakan air laut, sehingga untuk menentukan suatu fishing ground diperlukan data pendukung utama, yaitu data (insitu) hasil tangkapan.  Data inilah yang sulit diperoleh selain untuk melakukan penelitian yang demikian memerlukan biaya yang tidak sedikit dimana kita (Indonesia) belum banyak memilikinya.   Data indrajah dapat diperoleh setiap saat, namun data hasil tangkapan kontinuw dari waktu ke waktu pada fishing ground yang sama masih menjadi pertanyaan besar.   

Secara nasional Indonesia (dalam hal ini Departemen Pertanian melalui Direktorat Jenderal Perikanan telah menerapkan Proyek Fishing Log Book) dimana data hasil tangkapan di berbagai tempat pendaratan ikan dan kapal-kapal penangkap “diharapkan” dapat dicatat.  Selain itu Indonesia telah lama mengenal teknologi pendeteksian bawah air (Underwater fish detection devices). Dari hanya untuk memperkirakan kedalaman perairan hingga sekarang dapat digunakan untuk memprediksi baik karakteristik  perairan maupun biotanya.  Data hasil pendeteksian fish finder diproses dengan menggunakan program analisis seperti EP 500 pada komputer PC sederhana, atau secara life video sehingga dapat diprediksi jumlah densitas per spesies dan ukuran per ekor, berdasarkan layer tertentu dari dasar laut hingga ke permukaan dan kawasan, bahkan kecepatan dan arah pergerakan (schooling maupun individu), berdasarkan ukuran layer.  Mungkin suatu saat berbagai upaya di atas akan dapat digunakan sebagai dasar untuk menentukan suatu daerah penangkapan ikan tertentu pada waktu tertentu dan tersedia secara kontinu sekaligus “dapat dipahami dan mudah serta disukai” oleh para nelayan.

Berbicara mengenai fishing ground, tidak boleh terlepas dari berbagai kondisi perairan yang dinamis, kitapun harus memahami physical oceanography-nya, harus mengetahui kondisi dasar perairannya, dan lain sebagainya semua faktor alam yang mempengaruhi teknologi penangkapan ikan, seperti arus, angin, musim, gelombang, dll.).  Kondisi fisik daerah penangkapan akan sangat mempengaruhi Teknik Penangkapannya (fishing technique), Kapal Penangkap (fishing vessel), Disain Alat Penangkap Ikan (fishing gear design), Perlengkapan Kapal Penangkap Ikan (fishing equipment), Perlengkapan Komunikasi (communication equipment),  Perlengkapan Navigasi (navigational equipment), Kualifikasi dan kualitas SDM (fishing master, nakhoda, dan anak kapalnya), Biaya Operasional (bahan bakar, pelumas, bahan makanan, hak dan jaminan sosial bagi awak kapal seperti: gaji, premi, asuransi, sakit, bahkan keluarga yang ditinggalkannya), hingga manajemen. 

Ikan pada umumnya adalah predator, yang besar memakan yang lebih kecil, yang paling kecil memakan crustacea, crustacea memakan plankton.  Sehingga pada salah satu mata rantai makannya adalah sangat tergantung dengan adanya unsur hara, chlorophyl dan sinar matahari menciptakan proses photosintesanya. 

Indonesia memperoleh sinar matahari sepanjang tahun. Hampir seluruh pulau-pulau besar memiliki sungai yang mengalirkan “bahan unsur hara, yang belum terdekomposisi..??”, pada kenyatanya, dengan terjadinya penggundulan hutan, maka yang dialirkan adalah sampah hutan dan endapan lumpur.  Diperparah lagi dengan hampir punahnya hutan mangrove dimana terciptanya awal rantai makanan biota laut.  Dengan kata lain sebesar apapun ikan di samudra sana, makanannya berawal di mangrove.   Belajar dari phenomena ini maka terciptalah fish ground buatan.  Awalnya rumpon dibuat untuk menghasilkan unsur hara ditengah laut dari daun kelapa yang membusuk, kemudian terciptalah photosintesa, berlanjut dengan tumbuhnya phitoplankton, zoo plankton, berkumpul pula crustacea, dan biota  laut tingkat tinggi yang berukuran makin besar dan makin besar akibat adanya sifat predator. 

Sumber : http://kabmmu.blogspot.co.id


 

Senin, 18 Juli 2016

Rehabilitasi Terumbu Karang dengan Transplantasi

Oleh : Budi Santoso, S.St.Pi


Hasil gambar untuk Transplantasi terumbu karang

Sebagai salah satu negara kepulauan terbesar, Indonesia memiliki kekayaan sumber daya alam hayati yang sangat potensial. Salah satu kekayaan tersebut yakni terumbu karang. Sebagai ekosistem yang khas dan terletak di daerah tropis, ekosistem terumbu karang memiliki produktivitas yang cukup tinggi sehingga keanekaragaman biota yang ada di dalamnya cukup besar. Misalnya, karang batu (scleractinian coral) sebagai komponen utama penyusun terumbu memiliki distribusi spesies tertinggi. Sekurang-kurangnya ada 590 spesies (sembilan di antaranya spesies baru) dari 793 spesies yang diketahui di dunia.
Beberapa peran penting ekosistem terumbu karang dapat dilihat dari segi estetika, sebagai pelindung fisik dan sebagai produk yang menghasilkan nilai ekonomi. Dari segi estetika, tidak dapat dimungkiri ekosistem terumbu karang menampilkan pemandangan yang sangat indah, sehingga sering juga disebut oleh para wisatawan sebagai surga bawah laut. Sebagai pelindung fisik terhadap pantai. Kerusakan terumbu karang akan mengurangi kemampuan karang untuk berperan dalam memberikan perlindungan terhadap pantai dari ancaman ombak besar.
Sebagai sumber ekonomi, ekositem tersebut menghasilkan berbagai jenis ikan karang, udang karang, alga, tripang, kerang mutiara, dan memberikan tempat perlindungan dan tempat berkembang biak bagi berbagai ekosistem karang. Terumbu karang memiliki peran utama sebagai habitat (tempat tinggal), tempat mencari makan (feeding ground), tempat asuhan dan pembesaran (nursery ground), dan tempat pemijahan (spawning ground) bagi berbagai jenis biota laut yang hidup di terumbu karang. Dengan demikian ekositem ini secara tidak langsung berhubungan dengan tingkat mata pencaharian masyarakat nelayan.
Dalam buku Koordinasi Pemasangan dan Pengelolaan Terumbu Karang terbitan Mitra Praja Utama 2005, luas terumbu karang Indonesia adalah 42.000 km2 atau 16,5 persen dari luas terumbu karang dunia yang mencapai 255.300 km2. Indonesia menduduki peringkat terluas kedua di dunia setelah Australia yang memiliki luas terumbu karang 48.000 km2. Ironisnya, kondisi umum terumbu karang di Indonesia hampir 41 persen mengalami kerusakan berat, 29 persen rusak sedang, 23 persen kondisi baik, dan hanya 7 persen dalam kondisi sangat baik. Data ini diperkuat juga oleh survei terakhir Coremap (Coral Reef Rehabilition and Management Program) bersama instansi terkait termasuk perguruan tinggi diketahui bahwa 70 persen terumbu karang di Indonesia dalam keadaan rusak (Dwi 2007).
Beberapa penyebab terjadinya kerusakan terumbu karang diantaranya disebabkan oleh ulah manusia, yakni penangkapan ikan dengan cara yang merusak seperti penggunaan dinamit sebagai alat pengebom, penggunaan sianida sebagai racun dan jaring penangkap ikan yang sifatnya merusak. Pemanasan global menyebabkan coral bleaching (pemutihan karang). Pengambilan terumbu karang yang digunakan untuk bangunan rumah, hiasan atau pajangan dan masih banyak pengalihan fungsi terumbu karang yang hanya untuk peningkatan ekonomi pribadi dan sifatnya tidak konservatif. Dalam memulihkan kondisi terumbu karang secara normal dibutuhkan waktu yang sangat lama. Namun saat ini telah dikenal banyak metode, salah satunya adalah metode transplantasi karang.
Transplantasi karang merupakan salah satu upaya rehabilitasi terumbu karang melalui pencangkokan atau pemotongan karang hidup yang selanjutnya ditanam di tempat lain yang mengalami kerusakan atau menciptakan habitat yang baru pada lahan yang kosong. Manfaat dari transplantasi karang adalah mempercepat regenerasi terumbu karang yang telah rusak, rehabilitasi lahan-lahan kosong atau yang rusak sehingga dapat mendukung ketersediaan jumlah populasi ikan karang di alam, menciptakan komunitas baru, konservasi plasma nutfah, pengembangan populasi karang yang memiliki nilai ekonomis tinggi dan keperluan perdagangan.
Secara sederhana teknik transplantasi mencakup tahapan berikut. Pertama, pengambilan bibit koloni karang, Pengambilan bibit koloni karang sebaiknya dilakukan di daerah lain yang memiliki kedalaman yang sama dengan lokasi transplantasi. Kedua, pengikatan bibit koloni karang ke substrat. Substrat pengikatan karang dapat berupa gerabah atau semen. Ketiga, Penenggelaman transplantasi karang dan rangka (bila ada). Keempat perawatan, dilakukan untuk memantau tingkat stres dan kelangsungan hidup karang transplantasi.
Saat ini, teknik transplantasi karang juga telah dikembangkan lebih jauh untuk mendukung pemanfaatan yang berkelanjutan. Selain untuk pemanfaatan terumbu karang secara lestari (perdagangan karang hias), juga guna mengembangkan wisata bahari misalnya rnembuat lokasi penyelaman (dive spot) menjadi lebih indah dan menarik sehingga dapat mendorong kenaikan jumlah wisatawan ataupun untuk menunjang kegiatan kegiatan penelitian
Perbedaan dari setiap kegiatan transplantasi terutama terletak pada jenis bibit yang dipakai. Jenis bibit yang dipakai untuk transplantasi perdagangan karang hias dipilih dari jenis-jenis karang yang masuk dalam daftar perdagangan karang hias. Untuk wisata bahari, jenis bibit yang dipakai berasal dari jenis-jenis yang memiliki penampilan warna dan bentuk yang indah serta aman disentuh (tidak menimbulkan gatal atau luka).
Untuk pemulihan kembali lokasi terumbu karang yang telah rusak/rehabilitasi karang, jenis bibit yang dipakai dipilih dari jenis-jenis yang terancam punah di lokasi tersebut, pernah hidup di lokasi tersebut, dan tersedia sumber bibit yang memadai. Kegiatan transplantasi karang yang ditujukan untuk menunjang kegiatan kegiatan penelitian, sumber bibitnya disesuaikan dengan jenis-jenis karang yang akan diteliti.
Inilah salah satu upaya dalam penyelamatan ekosistem terumbu karang, walapun dalam perjalannya sudah banyak dikembangkan dengan teknik lain dan dengan berbagai tujuan pula. Akan tetapi, berhasil tidaknya program rehabilitasi terumbu karang melalui metode transplantasi juga tidak terlepas dari kesadaran masyarakat akan pentingnya fungsi ekositem ini baik secara biologi, ekonomi, dan fisik.